TRIBUNNEWS.COM - Ada beberapa catatan terkait substansi UU Cipta Kerja dan Peraturan Pelaksananya dengan masalah perlindungan Konsumen. Salah satunya misalnya terkait dengan produk halal yang sempat muncul saat RUU Cipta Kerja mulai dibahas.
Hal ini terungkap saat Rapat Dengar Pendapat PPUU DPD RI dengan Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas tentang Korelasi Peraturan Pemerintah dari UU Cipta Kerja terhadap UU Perlindungan Konsumen, Kamis, (18/3/2021).
Ketua PPUU DPD RI Badikenita Sitepu, menyatakan bahwa sesuai dengan ketentuan Pasal 95A UU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, PPUU DPD RI akan melakukan pemantauan dan peninjauan terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Legislasi terkait dengan perlindungan konsumen merupakan salah satu bentuk realisasi fungsi negara hukum. Dimana, negara hukum memiliki sedikitnya dua fungsi yang pertama melindungi warga negara dari negara dan kedua melindungi warga negara dari warga negara satu sama lainnya," ujar Senator Sumatera Utara saat membuka rapat.
Ketua Badan Legislasi DPR RI Supratman Andi Agtas memaparkan bahwa melihat UU Perlindungan Konsumen yang terkait dengan UU Cipta Kerja pada saat ini terkait dengan produk sertifikasi halal.
“Saya lihat pada tahun 2019 mayoritas atau 83% aduan terkait bidang properti, sisanya mengenai transaksi keuangan secara online, otomotif dan kelistrikan terkait aduan. Saya menyoroti agar PPUU DPD RI memfokuskan pada menjadi objek pemantauan tersebut, dalam rangka melahirkan sebuah rekomendasi terkait UU Perlindungan Konsumen untuk legislasi review nantinya,” ungkap Ketua Baleg DPR RI tersebut.
“Kegiatan pemantauan UU Perlindungan Konsumen ini dilakukan tiga tahap, yaitu tahap perancanaan, tahap pelaksaaan dan tindak lanjut. Ketiga tahapan ini harus memenuhi kaidah terkait pemantauan dan peninjauan UU sehingga hasil akhir rekomendasi menghasilkan sebuah kajian bisa berhasil guna dan tidak terpisahkan sebagai dasar melakukan revisi,” tambah Supratman.
Sementara itu, Staf Ahli Bidang Regulasi, Penegakan Hukum, dan Ketahanan Ekonomi Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia Elen Setiadi menyebutkan bahwa Presiden telah menetapkan peraturan pelaksana UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang terdiri atas 47 peraturan pemerintah dan 4 peraturan presiden.
“Menurut Kementerian Sekretaris Negara, Pelaksanaan Undang-Undang Cipta Kerja membutuhkan beberapa peraturan pelaksanaan teknis antara lain sektor penyelenggaraan perizinan berusaha berbasis risiko, kemudahan, perlindungan, dan pemberdayaan koperasi dan UMKM meliputi perpajakan yang mendukung kemudahan berusaha, bidang penataan ruang yaitu lingkungan hidup dan kehutanan, kemudian sektor pertanahan, serta sektor ketenagakerjaan,” jelasnya.
Undang-undang Cipta Kerja juga mengatur persoalan produk halal. Sebelum dimasukkan ke dalam undang-undang tersebut, persoalan produk halal diatur dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, pasal 4A UU Cipta Kerja yang mengatur tentang halal dinilai berpotensi melanggar UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Dalam Pasal 4A UU Ciptaker terdapat dua ayat yang pada dasarnya mengatur tentang sertifikasi halal untuk Usaha Mikro dan Kecil (UMK). Dalam pasal itu disebutkan jika kewajiban sertifikat halal bisa didasarkan pada pernyataan pelaku usaha mikro dan kecil, atau self declaration," ungkapnya.
Wakil Ketua PPUU Ajbar mengapresiasi kinerja pemerintah yang segera mengeluarkan 51 Peraturan Turunan dari UU Cipta Kerja. “Ke depan, PPUU akan membahas Peraturan Pelaksana tersebut sesuai dengan masing-masing clusternya agar lebih jelas dan terperinci,” jelas Ajbar.
Pada saat yang sama, Wakil Ketua PPUU DPD RI Eni Sumarni menyoroti akses pelayanan publik yang masih parsial seperti terhadap penyandang disabilitas dan kelompok rentan. “Aduan Pelayanan publik terhadap penyandang disabilitas dan kelompok rentan seperti usia, masih banyak ditemui, saya kira ini perlu juga menjadi perhatian,” ungkap Senator Jawa Barat.
Maka pengaturan perlindungan konsumen sangat berkaitan dengan fungsi negara hukum yang kedua sebagaimana dikemukakan diatas. Kebutuhan akan legitimasi hukum dalam pelaksanaan fungsi negara hukum yang diemban oleh Indonesia tersebut menjadi tak terelakan.
Khususnya, dalam konteks perlindungan warga negara Indonesia dalam aktivitas bisnis/perdagangan dimana warga negara Indonesia menjadi konsumen. Adapun upaya pengadaan dasar legitimasi hukum dalam perlindungan konsumen di Indonesia dilakukan melalui UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
"Seiring dengan perkembangan zaman dewasa ini. Dimana saat ini era globalisasi semakin gencar dan menisbikan batas-batas negara, telah berimbas pula pada kebutuhan akan adanya evaluasi dan pembaharuan atas UU Perlindungan Konsumen yang ada di Indonesia," pungkas Badikenita. (*)