TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, memberikan perhatian terhadap aktivitas penambangan batubara ilegal di Kabupaten Berau, Kalimantan Timur. Menurutnya, aktivitas tersebut harus ditindak karena menyebabkan kerusakan.
Yang menjadi perhatian LaNyalla, aktivitas penambangan ilegal tersebut berada di sekitar calon ibu kota negara yang baru.
“Aktivitas tambang ilegal ini bukan hanya merusak lingkungan dan ekosistem di Kabupaten Berau saja, tapi berimbas ke kabupaten lain yang berdampingan langsung, yakni Kutai Timur yang notabene calon ibu kota negara baru,” katanya, Minggu (2/5/2021).
Ada 9 titik tambang ilegal yang beroperasi di Berau. Yang membuat miris, praktik penambangan tersebut dilakukan secara terbuka dan terang-terangan, bahkan di dekat pemukiman penduduk.
Bagi Senator asal Jawa Timur itu, kondisi tersebut sangat ironi buat pemerintah yang sedang mempersiapkan pembangunan ibu kota baru.
“Kalau dibiarkan bisa berakibat fatal. Pertambangan ilegal ini kan tidak memiliki rencana reklamasi dan pasca-tambang. Setelah aktivitas selesai biasanya wilayah pertambangan dibiarkan tanpa dikembalikan fungsinya. Akibatnya kualitas air dan tanah menurun,” jelas La Nyalla.
Ketua Dewan Kehormatan Kadin Jawa Timur itu menegaskan bahwa dalam mempersiapkan ibu kota segala hal perlu diperhatikan. Termasuk Kabupaten di sekelilingnya harus bersih dari aktivitas ilegal.
“Sebenarnya tidak hanya soal kerusakan maupun pencemaran lingkungan, tapi ini juga soal kerugian negara. Berapa besar yang ditimbulkan,” ucapnya.
Dijelaskan oleh alumnus Universitas Brawijaya Malang itu, Polri harus melakukan tindakan karena praktik tersebut sudah masuk dalam ranah hukum.
“Itu termasuk tindak pidana. Karena tidak ada izin, tidak ada Amdal, tak ada jaminan keselamatan pekerja juga. Polisi harus turun langsung bersama Kodim dan Forkopimda,” paparnya.
Dalam UU No 3 Tahun 2020 Tentang Perubahan Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Minerba, pada Pasal 158 menyebutkan setiap orang yang melakukan penambangan tanpa izin, maka dikenakan sanksi pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak Rp100 miliar.(*)