TRIBUNNEWS.COM - Izin tambang emas di Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, yang dipegang PT Tambang Mas Sangihe (TMS), hingga kini masih menjadi polemik. Untuk menghindari masalah yang lebih luas, Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta pemerintah mendengarkan masukan dari para pakar sebelum mengambil keputusan.
Masukan untuk masalah di Sangihe ini disampaikan oleh para pakar yang tergabung dalam Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Universitas Diponegoro (Undip).
"Ada baiknya pemerintah mendengarkan masukan-masukan dari para pakar yang tergabung dalam Pusat Studi Hukum ESDM IKA FH Undip. Apalagi, mereka juga menyampaikan sejumlah instrumen yang harus dipenuhi dalam urusan perizinan tambang emas Sangihe agar pertambangan tidak berdampak pada konflik kerusakan lingkungan," tutur LaNyalla, Selasa (29/6/2021).
Senator asal Jawa Timur ini menjelaskan, instrumen penting yang harus ada dalam perizinan tambang antara lain berupa dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal).
"Dokumen Amdal saat izin tambang disetujui pemerintah, harus sinkron dengan Rencana Tata Ruang Wilayah dan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP-3-K). Hal ini sangat penting dan harus diperhatikan, mengingat 80 persen wilayah Indonesia adalah pesisir, dan sisanya adalah kehutanan. Sehingga penting dicermati aspek lingkungan hidup dan ekologisnya," terangnya.
Sedangkan Instrumen lainnya adalah berjalannya pengawasan dan proses reklamasi dan pasca tambang.
"Hal ini perlu disampaikan secara transparan. Untuk menangani hal ini perlu koordinasi lintas sektoral Kementerian ESDM, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), KKP, Kementerian ATR/BPN, dan lainnya," ujar mantan Ketua Umum PSSI itu.
Menurut LaNyalla, masukan-masukan tersebut harus menjadi perhatian agar sektor ekonomi melalui pertambangan benar-benar memberikan kebaikan.
"Bukan hanya kebaikan secara ekonomi tentunya yang kita harapkan, tetapi juga lingkungan tetap terjaga dan kehidupan masyarakat tetap normal dan terhindar dari bencana," ujarnya.
Untuk diketahui, izin tambang emas yang dikelola PT Tambang Mas Sangihe (TMS) mendapatkan penolakan dari warga.
Sebagaimana disampaikan Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah, warga menolak aktivitas tersebut sebab pertambangan mengancam lebih dari setengah pulau. Luas tambang 42.000 ha TMS, sudah memakan 57% dari luas Kabupaten Kepulauan Sangihe yang hanya 73.689 ha.
Sementara Staf Khusus Menteri ESDM Bidang Tata Kelola Minerba, menjelaskan jika PT TMS merupakan perusahaan pemegang Kontrak Karya (KK) generasi 6 dan telah melakukan kegiatan eksplorasi sejak tahun 1997.
PT TMS memiliki Wilayah Kontrak Karya seluas 42.000 ha. Sedangkan yang akan digunakan untuk kegiatan penambangan adalah seluas 65,48 ha.(*)