TRIBUNNEWS.COM - Derasnya informasi melalui media sosial kerap diiringi dengan masuknya paham radikalisme hingga terorisme. Yang menjadi sasaran adalah generasi muda.
Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti meminta hal ini diantisipasi. Menurutnya, pelajaran agama bisa menjadi penyaring untuk meredam penyebaran paham-paham tersebut.
LaNyalla menyampaikan hal tersebut untuk menanggapi hasil penelitian Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Kalimantan Selatan (Kalsel). Dari penelitian tersebut, diketahui jika potensi radikalisme paling berbahaya masuk melalui dunia digital maupun media sosial (medsos). Karena, medsos mudah dijangkau warga khususnya anak-anak hingga remaja.
FKPT Kalsel menyatakan, potensi paham-paham tersebut dilihat dari dimensi pemahaman ada sebesar 6,1%, dimensi sikap sebanyak 23,7% dan dimensi tindakan sebanyak 1,3%. Artinya, jumlah masyarakat yang tidak mengerti terhadap paham-paham itu, atau sekedar ikut saja, cukup tinggi.
“Konten-konten yang memuat teror dan ujaran kebencian sangat banyak tersebar di media sosial dan memiliki potensi yang signifikan terhadap paham-paham radikalisme dan terorisme. Ini harus menjadi perhatian serius,” tutur LaNyalla, Rabu (30/6/2021).
Dari penelitian tersebut, diketahui jika indeks potensi radikalisme cenderung ada pada kalangan gen Z, dan mereka yang aktif di internet dan media sosial. Hasil penelitian yang menyebut 86% generasi Z menerima informasi keagamaan dari internet.
“Maka upaya penangkalan harus dilakukan secara serius dan sedini mungkin. Jadi sangat tepat penangkalan potensi teroris melalui pemahaman pembelajaran agama di sekolah,” ujar LaNyalla.
Senator asal Jawa Timur ini menambahkan, mayoritas masyarakat dengan literasi rendah menerima informasi begitu saja tanpa mencari informasi pembanding. Minimnya literasi juga berpotensi memicu provokasi seperti penistaan agama dan ujaran kebencian.
“Anak-anak senang menonton YouTube dan mengakses informasi melalui kanal media sosial. Hal ini yang harus dikhawatirkan. Karena, anak-anak bisa terpapar konten yang berisi ajakan teror. Tentu hal itu mempengaruhi pikiran dan tindakan mereka, maka perlu penyeimbang informasi agar anak tidak langsung menyerap informasi yang mereka dapat secara mentah-mentah,” paparnya.
Dikatakan LaNyalla, sekolah memiliki peran penting yang dapat memberikan informasi mengenai pembelajaran agama agar tidak keliru. Hal tersebut dapat dilakukan melalui muatan dalam kurikulum pendidikan agama.
“Peran guru agama di sekolah sangat penting memberikan pengarahan untuk menangkal potensi radikalisme kepada generasi penerus bangsa, dengan memberikan bobot materi pembelajaran untuk mengimbangi informasi yang keliru yang tersebar melalui konten-konten media sosial,” jelas LaNyalla.
Lulusan Universitas Brawijaya itu mengatakan, sekolah bisa bekerja sama dengan instansi-instansi yang bertugas dalam upaya penangkalan radikalisme dan terorisme, seperti Polri, TNI, hingga BNPT.
“Buatlah program berkelanjutan di tingkat sekolah hingga perguruan tinggi sekaligus sebagai upaya tracing untuk menumpas penyebaran paham radikalisme pada generasi Z,” tutup Mantan Ketua Umum PSSI itu.(*)