TRIBUNNEWS.COM - DPD RI mengusulkan Rancangan Undang–Undang pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik. Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengungkap latar belakang DPD RI mengajukan usulan tersebut.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam zoominar tentang Transformasi Digital Pelayanan Publik dengan Artificial Intelligence, Big Data dan Smart Block Chain, yang diadakan oleh Pusat Studi Politik Pembangunan Daerah (PSP2D) dan Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (PUSKAPU), Rabu (28/7/2021).
Menurutnya, DPD RI telah menyetujui RUU tentang Pelayanan Publik dalam Sidang Paripurna DPD RI pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2020- 2021, 16 Juli lalu. RUU usul inisiatif DPD RI tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024 dan diharapkan dapat dibahas oleh DPR bersama Pemerintah pada tahun 2022 sebagai Prolegnas Prioritas 2022.
“Dalam naskah RUU tersebut, DPD telah mempersiapkan desain legislasi Pelayanan Publik yang modern, inovatif dan partisipatif dengan memperhatikan perkembangan globalisasi dan demografi khususnya untuk generasi milenial,” ungkap LaNyalla, di sela reses di Kediri.
Dijelaskannya, pengaturan dalam RUU Pelayanan Publik diharapkan mampu menjawab tantangan untuk 10 tahun ke depan. Terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, yaitu Artificial Intelligence, Big Data, Block Chain, Nano teknologi dan sebagainya.
Menurut LaNyalla, Indonesia harus mampu mengadopsi semua hal tersebut dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia.
“Kita percaya bahwa teknologi itu akan memudahkan, membuat efektif, efesien, transparan dan akuntabel dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik,” katanya.
LaNyalla menyebut, di sejumlah negara Pelayanan Publik secara digital sangat cepat diadaptasi oleh warganya. Dengan menyelenggarakan pelayanan publik secara digital, negara dapat menghemat biaya yang selama ini cukup besar.
“Karena dapat menghemat penggunaan kertas, pelaksana teknis, biaya honor pegawai, sewa ruangan, serta biaya-biaya lain yang dikenal dengan opportunity cost. Bahkan dapat direduksi hingga 20% atau lebih,” ucap LaNyalla.
Namun, pelayanan publik secara digital juga akan menimbulkan biaya-biaya baru di dalam tahapan awal pelaksanaannya, terutama untuk mempersiapkan sarana dan prasarana pendukung seperti jaringan internet yang merata di seluruh pelosok daerah. Selain itu untuk perangkat pendukung lainnya, SDM Pelaksana serta edukasi terkait literasi digital kepada masyarakat sebagai penggunanya nanti.
Meski begitu, DPD RI menilai perubahan aturan terkait pelayanan publik tetap harus dilakukan. Sebab, kemajuan zaman memang memerlukan perubahan dalam banyak sektor, termasuk pelayanan publik.
LaNyalla pun menilai RUU Pelayanan Publik usulan DPD RI akan mendukung visi misi pemerintahan Presiden Joko Widodo yang selalu mengedepankan program reformasi birokrasi sebagai upaya untuk mewujudkan pemerintahan berkelas dunia dengan meningkatkan kualitas pelayanan publik, yang pada akhirnya akan meningkat pula kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Untuk mendukung hal tersebut, diperlukan paradigma baru mengenai pelayanan publik yang menjadi hak warga negara dan merupakan sebuah kewajiban untuk negara.
Menurut LaNyalla, paradigma Pelayanan Publik ke depan adalah bagaimana negara menempatkan warga negaranya sebagai subjek pelayanan, bukan objek dari pelayanan tersebut.
“Negara wajib menjamin hak masyarakat untuk dapat mengakses berbagai jenis pelayanan dalam memenuhi kepentingan dan kebutuhan masyarakatnya. Paradigma yang demikian kita kenal dengan Paradigma New Public Services,” ujarnya.
LaNyalla menganggap new public services sangat dibutuhkan terutama setelah pandemi Covid-19 melanda dunia. Hal itu dikarenakan pandemi membuat kebiasaan masyarakat menjadi berubah, contohnya seperti perubahan dalam sebuah kegiatan di mana sejak pandemi, pertemuan atau seminar secara daring/online telah menjadi hal yang lumrah.
“Kondisi tersebut menuntut kita untuk mampu beradaptasi dengan dunia digital, dunia yang semuanya difasilitasi melalui fasilitas teknologi digital,” urai LaNyalla.
Ditambahkannya, saat ini hampir semua urusan dapat diselesaikan melalui handphone/gadget. LaNyalla memberi contoh seperti membeli berbagai kebutuhan, membaca berita, menonton, beriklan, memesan transportasi untuk perjalanan, makanan, hotel dan bahkan berjualan berbagai produk di dalam marketplace.
“Semua contoh tersebut menginspirasi kita. Mengapa tidak Pelayanan Publik secara digital juga dapat dilakukan? Transformasi Pelayanan Publik secara Digital atau e-Services adalah sebuah keniscayaan untuk masyarakat Indonesia,” ucap lulusan Universitas Brawijaya itu.
LaNyalla pun mengingatkan, penduduk Indonesia yang berjumlah 271 juta jiwa kini didominasi oleh kelompok millennial (Gen Y) dan post-millennial (Gen Z dan Post-Z) yang secara karakteristik merupakan digital natives atau orang-orang yang sejak dini telah akrab dengan teknologi. Dengan luas wilayah Indonesia yang memiliki 17.491 pulau, tentu akan efektif jika dapat dilayani oleh negara dengan mengadopsi teknologi digital.
“Dengan demikian urusan warga negara yang berkaitan pemenuhan kebutuhan dasar dan urusan wajib pemerintah dapat diselesaikan dari secara cepat, tepat, efektif dan efesien,” jelas LaNyalla.
Digitalisasi sendiri, menurut mantan Ketua Umum PSSI tersebut, merupakan isu strategis yang tidak dapat dielakkan termasuk dalam hal pemerintahan dan penyelenggaraan pelayanan publik. Disampaikan LaNyalla, transformasi digital telah mengubah wajah interaksi manusia dan peradaban, tidak terkecuali dalam hal Pelayanan Publik.
“Pelayanan Publik bidang kependudukan, kesehatan, pendidikan, pertanahan, keagamaan, investasi, perizinan, non-perizinan, dan lain-lain dapat diselesaikan dengan cepat dan mudah. Semua ini tentu akan menjawab stereotipe birokrasi yang pernah kita dengar, sulit, berbelit-belit, rente dan cenderung korup, tentu akan segera tuntas,” tegasnya.
LaNyalla mengatakan, politik legislasi Indonesia ke depan harus dapat menjawab perkembangan peradaban masyarakat yang berkembang dewasa ini.
“Sebagai Wakil Daerah, kami komit dan konsisten bahwa membangun Indonesia dari Daerah untuk Indonesia harus segera mampu diwujudkan dalam politik legislasi DPD RI, yaitu dari daerah untuk Indonesia,” tutup LaNyalla.(*)