TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti mengungkap latar belakang DPD RI mengajukan usulan Rancangan Undang-undang Pelayanan Publik. Menurutnya, RUU tersebut diajukan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009.
Hal itu disampaikan LaNyalla dalam zoominar tentang Transformasi Digital Pelayanan Publik dengan Artificial Intelligence, Big Data dan Smart Block Chain, yang diadakan oleh Pusat Studi Politik Pembangunan Daerah (PSP2D) dan Pusat Kajian dan Advokasi Persaingan Usaha (PUSKAPU), Rabu (28/7/2021).
LaNyalla menjelaskan, DPD RI menilai aturan mengenai pelayanan publik harus diperbaharui untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Dalam naskah akademik RUU Pelayanan Publik yang baru, DPD RI mempersiapkan desain legislasi Pelayanan Publik yang modern, inovatif dan partisipatif dengan memperhatikan perkembangan globalisasi dan demografi khususnya untuk generasi milenial.
“Pengaturan dalam RUU Pelayanan Publik diharapkan mampu menjawab tantangan untuk 10 tahun ke depan. Terlebih dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat, yaitu Artificial Intelligence, Bigdata, Block Chain, Nano teknologi dan sebagainya. Indonesia harus mampu mengadopsi semua hal tersebut dalam penyelenggaraan Pelayanan Publik di Indonesia,” ungkap LaNyalla di sela reses di Kediri.
Senator asal Jawa Timur itu merinci sejumlah pertimbangan mengapa DPD RI mengusulkan RUU pengganti UU No 25 Tahun 2009, sekaligus mengungkap perbedaannya.
“Paradigma UU N0 25/2009 masih pada penyelenggaraan pelayanan dengan konsep Governance 1.0, sementara RUU tentang Pelayanan Publik sudah mengedepankan konsep Governance 4.0 di mana teknologi artificial intelligence, big data dan block chain adalah bagian teknologi penunjangnya,” jelasnya.
Kemudian terdapat perbedaan definisi ‘pelayanan publik’ yang berada di UU 25/2009 dengan RUU inisiatif DPD RI. RUU Pelayanan Publik yang baru mendefenisikan ulang Pelayanan Publik dengan tujuan agar Indonesia juga harus siap menjadi pemain dunia, khususnya terkait perizinan dan non perizinan yang berkaitan dengan investasi internasional.
Dalam RUU Pelayanan Publik juga mengatur secara tegas dan lebih jelas mengenai pengorganisasian Pelayanan Publik, dengan membagi tingkatan kewenangan menjadi Pembina, Organisasi Penyelenggara, Penyelenggara, Penanggung Jawab, dan Pelaksana. Dalam Naskah RUU Pelayanan Publik, DPD memperjelas kedudukan masing-masing tersebut dengan mengatur Hak, Kewajiban dan Larangan.
LaNyalla menjelaskan, RUU Pelayanan Publik usul DPD juga mengatur mengenai Pelayanan Publik Berbasis Elektronik, agar penyelenggaraan pelayanan publik dapat mengadopsi perkembangan teknologi.
Selain itu juga soal Kompetensi dan Etika Pelaksana, Penyelenggaraan Pelayanan Publik di mana dalam RUU tersebut mengatur tentang kompetensi dasar dan kompetensi khusus serta bagaimana etika penyelenggaraan yang semestinya dimiliki oleh pelaksana pelayanan publik.
“Juga terdapat Inovasi Pelayanan Publik pada RUU Pelayanan Publik, yang diatur dalam Bab khusus. Hal ini merupakan bagian dari kesadaran kita bahwa pelayanan publik harus secara terus menerus diperbaiki demi mewujudkan pelayanan yang lebih berkualitas kepada masyarakat,” terang LaNyalla.
Menurut alumnus Universitas Brawijaya ini, terdapat penambahan asas baru pada RUU Pelayanan Publik, yaitu asas Legalitas, Spiritualitas, Keseimbangan hak dan kewajiban, Inklusifitas, Integritas, pelayanan prima, dan kerja sama.
LaNyalla mengatakan, RUU inisiatif DPD RI ini juga mengatur afirmasi kepada kelompok rentan dalam bab khusus dan telah disesuaikan dengan semangat Sustainable Development Goals (SDGs), sehingga tidak ada yang merasa ditinggal.
“Kerja sama, kemitraan dan partisipasi penyelenggaraan Pelayanan Publik, juga disesuaikan dengan tren saat ini dengan mengadopsi konsep Pentahelix Model di mana seluruh elemen dapat berkolaborasi di dalam menyelenggarakan Pelayanan Publik,” imbuh mantan Ketua Umum PSSI tersebut.
Tak hanya itu, RUU Pelayanan Publik yang baru pun mengatur audit dan pengawasan pelayanan publik. Pengaturan tentang hal ini diharapkan akan membantu Pembina dan Penyelenggaraan di dalam upaya perbaikan agar pelayanan publik tersebut terselenggara secara efektif, efesien dan akuntabel.
LaNyalla menambahkan, terdapat juga soal penyelesaian pengaduan dan ganti rugi sebab pengaduan yang selama ini dirasakan tidak ringkas dan sederhana. RUU pun menyederhanakan penguatan Ombudsman sebagai Lembaga Pelaksana Ajudikasi Khusus.
“Demikian pula untuk pelayanan yang berbayar, maka masyarakat yang merasa dirugikan berhak untuk mendapatkan ganti rugi,” tutur LaNyalla.
DPD RI telah menyetujui RUU tentang Pelayanan Publik dalam Sidang Paripurna DPD RI pada Masa Sidang V Tahun Sidang 2020-2021, 16 Juli lalu.
RUU usul inisiatif DPD RI tersebut telah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Jangka Menengah 2020-2024 dan diharapkan dapat dibahas oleh DPR bersama Pemerintah pada tahun 2022 sebagai Prolegnas Prioritas 2022. (*)