TRIBUNNEWS.COM - Tuntutan reformasi melalui perubahan UUD 1945 telah mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Salah satu perubahan tersebut terjadi dalam kelembagaan negara dengan bertambahnya DPD.
Kehadiran DPD sebagai lembaga baru hasil perubahan UUD NRI 1945 merupakan konsekuensi dari perubahan Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 untuk mengoptimalkan dan meneguhkan paham kedaulatan rakyat.
Namun sejak kelahirannya hingga saat ini, eksistensi kewenangan DPD masih menjadi sorotan berbagai pihak, baik politisi, praktisi, maupun akademisi, yang belum menemukan titik temu.
Sangat disayangkan apabila perdebatan atas interpretasi konstitusi berakhir dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI), sehingga mekanisme peluang penguatan kewenangan DPD sebagaimana tercantum dalam Pasal 22D UUD NRI 1945 dan Pasal 6A UUD NRI 1945 mengenai Independensi Calon Presiden dan Wakil Presiden, hanya dapat dilakukan melalui Amandemen ke-5 UUD NRI 1945.
Pada prinsipnya berdasarkan UUD NRI 1945, MPR mempunyai kewenangan melakukan perubahan UUD.
Pimpinan PURT DPD RI dan Senator Kalimantan Utara Hasan Basri menilai bahwa memang sudah seharusnya menjadi tugas MPR untuk melakukan evaluasi implementasi UUD NRI 1945 yang telah berlangsung dua dasawarsa ini. Evaluasi tersebut harus dilakukan secara komprehensif untuk kepentingan penyelenggaraan negara sebagaimana yang dicita-citakan oleh para pendiri negara.
Senator Kalimantan Utara tersebut memberikan 2 pandangan adanya urgensi amandemen ke-5 UUD NRI 1945 mengenai penguatan kewenangan DPD (Pasal 22D UUD NRI 1945) dan Pasal 6A (2) dan (5) UUD NRI 1945 mengenai Independensi Calon Presiden dan Wakil Presiden.
"Pertama, penguatan kewenangan DPD. Kehadiran DPD sebagai wakil kewilayahan non-partai sejatinya diharapkan mampu memberikan harapan baru ditengah krisis legitimasi masyarakat. Namun sangat disayangkan kewenangan yang dimiliki DPD sebagai kamar dua di parlemen, limitasi kuantitas yang tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR di dalam pengambilan keputusan," ujarnya.
Meskipun tingkat legitimasi kedua dewan sama karena berasal dari proses elektoral (Pasal 22C dan Pasal 22E UUD NRI 1945), kesenjangan kuantitatif dipastikan akan berdampak pada minimnya tingkat pengaruh DPD terhadap proses agregasi pembuatan keputusan.
Konsepsi bikameralisme mengandung makna bahwa hanya ada dua kamar dalam parlemen yakni majelis rendah (House of Common) dan majelis tinggi (House of Lord) dalam istilah parlemen Inggris, Senate dan House Of Representative dalam istilah Negara Amerika Serikat, atau Eerste Kamer dan Tweede Kamer dalam istilah Belanda serta DPR dan DPD dalam konsep badan perwakilan Indonesia haruslah saling mengontrol dan menyeimbangkan (checks and balances) demi kinerja yang lebih baik, berkualitas dan akuntabel.
"Jika kita tinjau dalam sistem ketatanegaraan Indonesia saat ini, DPD memiliki kedudukan yang tidak jelas. Apalagi pengaturan dalam UUD 1945 yang berkaitan dengan DPD tidak diatur secara komprehensif dan sangat sumir sebagaimana tertuang dalam Pasal 22C, Pasal 22D, Pasal 23E ayat (1), dan Pasal 22F ayat (2) ataupun berdasarkan Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009," lanjut Hasan Basri.
Dalam hal kewenangan, DPD sama sekali tidak memiliki kekuasaan apapun, selain hanya memberikan pertimbangan, usul, ataupun saran kepada DPR sebagai lembaga yang memutuskan, baik dalam bidang legislatif maupun pengawasan.
Kewenangan DPD berkaitan dengan penyelenggaraan otonomi daerah yang sebatas memberikan pertimbangan pun menampakkan kelemahan fungsi DPD karena tidak dapat memperjuangkan kepentingan daerah dan sebagai lembaga bargaining terhadap kemungkinan pertimbangan DPD yang tidak dilanjuti oleh DPR.
Apalagi, rancangan undang-undang yang tidak sesuai dengan kepentingan daerah tidak dapat dibatalkan oleh DPD dengan menggunakan hak veto, sebagaimana dipraktikkan dalam sistem perwakilan bikameral.
Hal inilah yang mengakibatkan DPD tidak memiliki kekuasaan sama sekali dalam sistem ketatanegaraan saat ini yang membuat kedudukan DPD sangat lemah bahkan hanya sebagai lembaga yang hanya memberikan pertimbangan kepada DPR.
Oleh karenanya, pemberdayaan dan penguatan terhadap DPD merupakan sesuatu yang niscaya untuk mengakomodasi kebutuhan daerah demi satu kepentingan nasional yaitu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan kesejahteraan rakyatnya.
"Kedua, Independensi Calon Presiden dan Wakil Presiden. Sistem pengisian jabatan Presiden berdasarkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 adalah salah satu bentuk batasan berdemokrasi. Dalam prinsip demokrasi konstitusional, tidak diperkenankan pembatasan-pembatasan mengebiri substansi demokrasi," sebutnya.
Pemilu bukan hanya menjadi instrumen konversi suara menjadi kursi, tetapi lebih luas lagi maknanya karena juga dapat menentukan arah sistem pemerintahan yang dibangun di masa depan.
Berbeda dengan negara Filipina yang menggunakan sistem presidensial secara murni, pemilihan presiden dan parlemen merupakan dua hal yang berbeda.
Di sana setiap individu dapat mengajukan diri sebagai calon presiden, tanpa harus mendapat dukungan dari legislatif. Sehingga presiden terpilih, benar-benar presiden yang diusulkan dan dipilih sendiri oleh rakyatnya.
Begitu juga dengan negara Amerika Latin yang menganut sistem presidensial multipartai tidak menggunakan ambang batas pencalonan presiden. Bahkan di Brazil membolehkan calon independen bertarung dalam pemilihan presiden.
Ia kemudian menambahkan bahwa setidaknya terdapat dua pokok permasalahan yang menjadi urgensi dalam ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945:
Pertama, berkaitan dengan materi Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa tidak ada pembatasan dengan persentase untuk mencalonkan Presiden dan Wakil Presiden karena bunyi pasal tersebut hanya menggunakan frasa “partai politik atau gabungan partai politik” artinya, setiap partai politik memiliki hak konstitusional untuk mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden.
Secara teori konstitusi, dikatakan bahwa konstitusi berdasarkan paham konstitusionalisme memberikan batasan terhadap kekuasaan serta adanya perlindungan hak asasi manusia yang sama dalam hal apapun karena konstitusi hadir sebagai hukum tertinggi dalam menjamin hak-hak setiap warga Negara.
Dapat dipahami bahwa adanya ambang batas yang ditetapkan melalui parpol dan gabungan parpol tidak sesuai (inkonstitusional) karena tidak mencerminkan nilai-nilai yang dimaksud dalam konstitusi.
Kedua, Hasan berpandangan bahwa gagasan pencalonan Presiden dan Wakil Presiden melalui jalur perseorangan memiliki relevansi terhadap prinsip negara hukum dan demokrasi.
Relevansi ini dapat terlihat karena mekanisme pencalonan Presiden dan Wakil Presiden yang tercantum dalam Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 justru kontradiksi dengan prinsip negara hukum yang demokratis.
Asas kedaulatan rakyat dapat tereduksi, melanggengkan kekuasaan sekelompok elite partai tertentu (oligarki), menutup kesempatan warga negara non partisan, membatasi alternatif calon sehingga persaingan tidak kompetitif dan pilihan rakyat terbatas, dan mempersempit ruang partisipasi rakyat.
Bahkan ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 cenderung “memaksa” warga negara untuk berpartai politik atau setidak-tidaknya berafiliasi dengan parpol.
Selanjutnya, dalam memahami ketentuan Pasal 6 A ayat (5) UUD NRI 1945 yang menentukan “Tata cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam undang-undang”.
Artinya hal-hal yang terkait dengan substansi dalam Pasal 6A UUD NRI 1945 diamanatkan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang.
"Namun jikalau persyaratan ambang batas disebut sebagai open legal policy dalam menetapkan syarat ambang batas pengusulan calon Presiden dan Wakil Presiden oleh Parpol atau gabungan Parpol, menurut kami tidaklah bijaksana, karena dengan adanya ambang batas berarti mencederai hak konstitusional yang diberikan kepada Partai Politik, dengan kata lain hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," jelasnya.
"Konstitusi Indonesia bukanlah fenomena ahistoris. Konstitusi tidak dapat dipahami hanya sekedar teksnya semata, tetapi harus mencangkup geistlichen-hintergrund yang meliputi latar belakang sosial, politik, ekonom, serta pemikiran-pemerikiran yang hidup dan berkembang selama dalam proses amandemen," lanjut Hasan.
Sesuai dengan aspirasi dari daerah-daerah, masyarakat menginginkan adanya penguatan kewenangan DPD dan calon yang berasal dari perseorangan dengan melakukan amandemen ke-5 UUD NRI 1945. Di samping dalam prosesnya mengenai wacana amandemen ke-5 UUD NRI 1945 telah dilakukan kajian ilmiah di hampir 75 perguruan tinggi di Indonesia.
Hal ini dilakukan dengan tujuan agar demokratisasi dalam pemilihan presiden dan wakil presiden dapat diwujudkan.
Gagasan tersebut pun didukung hasil survei LSI yang menyimpulkan bahwa sebagian rakyat Indonesia menginginkan adanya capres perseorangan sebagai jalur alternatif selain jalur partai politik.
Dengan demikian, menjadi bukti alasan kuat sebagai awal untuk dijadikan argumen pendukung untuk dilakukannya Amandemen ke-5 UUD NRI 1945. (*)