TRIBUNNEWS.COM - Wacana amandemen ke-5 UUD 1945 kembali menjadi perbincangan pasca Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus yang lalu.
Pidato Ketua MPR yang menyinggung mengenai PPHN dan agenda perubahan UUD 1945 serta apresiasi yang disampaikan oleh Presiden Jokowi terhadap wacana tersebut tentunya telah menarik perhatian dan pertanyaan semua kalangan. Terutama di kondisi pandemi saat ini, yang seakan-akan memposisikan pelaksanaan amandemen cenderung dipaksakan.
Menurut senator asal Jambi M. Syukur, bila kita melihat syarat pengajuan perubahan yang tercantum dalam Pasal 37 UUD 1945, maka diperlukan 2 (dua) syarat untuk dapat diagendakannya perubahan tersebut.
Syarat pertama adanya pengajuan oleh 1/3 (sepertiga) Anggota MPR serta yang syarat kedua adanya usulan tertulis terhadap pasal-pasal yang akan diubah beserta alasannya. Jika mengacu pada kedua syarat tersebut serta dengan hitung-hitungan politik yang ada saat ini maka wacana amandemen UUD 1945 sangat mungkin untuk diwujudkan.
Bila kita melihat sejarah, amandemen UUD 1945 diawali dengan momentum yang sangat masif dan kemudian menghasilkan sebuah konsensus politik yang kemudian berdampak pada pergeseran kekuasaan pembentukan legislasi, pembatasan masa jabatan presiden, serta pergeseran sistem pemerintahan dari yang bersifat sentralisasi ke desentralisasi.
Perubahan-perubahan tersebut tentunya telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pelaksanaan pengelolaan negara saat ini.
Pertanyaannya sekarang, urgensi apa yang kemudian dapat dijadikan dasar terhadap dilakukannya amandemen kembali terhadap UUD 1945, apakah cukup hanya PPHN yang kemudian dijadikan landasan untuk dilakukannya kembali amandemen UUD 1945.
Dengan berbagai persoalan yang dihadapi bangsa saat ini, kalaupun pelaksanaan amandemen tetap dilakukan maka dampak yang dirasakan haruslah mengarahkan pada perbaikan terhadap pelaksanaan pembangunan yang merata dan berkelanjutan, sistem hubungan pusat daerah yang lebih seimbang, serta pelaksanaan pemilihan pemimpin nasional yang adil dan menjamin terlaksananya hak-hak setiap warga negara untuk dipilih dan memilih.
Dalam kaitan dengan pelaksanaan pembangunan yang merata dan berkelanjutan, tentunya wacana untuk menghadirkan PPHN perlu diperdalam kembali, posisi daerah sebagai sebuah institusi yang otonom tentunya harus ditempatkan pada posisi yang tepat.
Daerah harus memiliki peran dalam pembentukan PPHN yang nantinya menjadi acuan dalam pelaksanaan pembangunan nasional yang demokratis, transparan, akuntabel, terintegrasi dan berkesinambungan.
Begitu pula terhadap persoalan hubungan pusat daerah yang lebih seimbang, kehadiran DPD sebagai lembaga perwakilan daerah tentunya perlu untuk dioptimalkan. Sebagai perwakilan yang dipilih secara perorangan tentunya DPD harus dapat membawa perspektif lain bagi pembentukan kebijakan ditingkat nasional.
Atas dasar hal tersebut maka diperlukan adanya penataan kembali terhadap kewenangan DPD, hal ini sejalan dengan rekomendasi yang dihasilkan oleh MPR periode 2014-2019.
Berkaitan dengan persoalan pemilihan pemimpin nasional, negara harus hadir untuk memenuhi setiap kewajibannya. Negara harus dapat melindungi, menghormati, serta memfasilitasi hak-hak yang dimiliki oleh warga negara, termasuk hak untuk mendapat kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Negara tidak dapat membatasi hak warga negaranya, negara hanya dapat membatasi hak warga negaranya apabila berkaitan dengan moralitas nasional, sedangkan hak warga negara untuk dapat ikut berpartisipasi dalam pemerintahan merupakan salah satu hak asasi yang sama sekali tidak boleh diberikan pembatasan.
Apabila kita mengacu pada instrumen hak asasi manusia yang diakui secara internasional maka negara merupakan pihak yang terikat secara hukum untuk dapat memenuhi setiap hak asasi yang dimiliki oleh warga negaranya. Dalam hal ini negara wajib untuk menghormati, melindungi, dan memfasilitasi hak asasi manusia setiap individu warga negara sebagai pemegang hak (right holder), tidak terkecuali hak individu warga negara untuk dapat turut serta mengajukan diri sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden.
Pengajuan calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dapat dilakukan melalui partai politik atau gabungan partai politik tentunya telah membatasi hak asasi warga negara untuk ikut serta secara independen dalam kontestasi pemilihan Presiden dan calon Wakil Presiden.
Atas dasar hal tersebut maka negara sebagai pihak yang terikat secara hukum harus dapat memberikan ruang bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden yang tidak diusung oleh partai politik, nilai-nilai demokrasi dalam ajang pemilihan Presiden tentunya tidak dapat didegradasi atau dibagi habis melalui jalur partai politik.
Nilai-nilai demokrasi harus dapat tetap hidup dan menjamin setiap warga negara untuk dapat memenuhi hak-hak asasi yang dimilikinya. Peniadaan terhadap hak yang dimiliki oleh individu warga negara untuk maju sebagai calon Presiden dan calon Wakil Presiden perseorangan merupakan hal yang tidak wajar dan bertentangan dengan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi, dan memfasilitasi hak-hak warga negaranya.
Oleh karenanya norma-norma konstitusi yang membatasi hak-hak warga negara tersebut harus diubah dan diganti dengan norma baru yang dapat memberikan kesempatan yang sama bagi putra-putri terbaik bangsa dalam mengikuti kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Dengan demikian, kalaupun wacana amandemen UUD 1945 pada akhirnya diwujudkan sebagai sebuah konsensus politik maka proses perubahan tersebut haruslah memberikan solusi bagi persoalan-persoalan yang ada saat ini.
Terutama persoalan mengenai pelaksanaan pembangunan yang adil, merata, dan berkesinambungan melalui pembentukan PPHN, pelaksanaan hubungan pusat dan daerah yang lebih seimbang melalui penataan kewenangan DPD sebagai lembaga perwakilan daerah, serta terwujudnya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden yang lebih demokratis dengan memberikan ruang bagi calon Presiden dan calon Wakil Presiden dari jalur independen (nonparpol).
Oleh karenanya, amandemen konstitusi harus dapat menghadirkan nilai-nilai demokrasi yang lebih substantif dan menjamin terpenuhinya setiap hak asasi yang dimiliki oleh warga negara.
Dengan kata lain amandemen UUD 1945 bukanlah harga yang murah, oleh karenanya dampak yang diberikannya pun harus sesuai dan memberikan pengaruh positif bagi pelaksanaan kehidupan bernegara yang lebih demokratis. (*)