TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI, AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, menegaskan jika perbaikan bangsa harus dilakukan dari hulu. Termasuk memperbaiki sistem ketatanegaraan dan ekonomi negara.
Oleh karena itu, DPD RI terus menggulirkan Amandemen Konstitusi perubahan ke-5 sebagai momentum untuk melakukan perbaikan tersebut.
“Terus terang, selama ini yang banyak diperdebatkan dan didiskusikan di masyarakat adalah persoalan-persoalan di hilir. Sehingga tidak pernah selesai. Padahal sejatinya, persoalannya ada di hulu,” kata LaNyalla, yang hadir secara virtual saat menjadi pembicara kunci dalam acara Pesantren Virtual Bhineka Tunggal Ika Untuk Persaudaraan dan Perdamaian, Minggu (31/10/2021).
Menurut LaNyalla, dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, persoalan di hulu yang perlu dikoreksi adalah Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold.
Presidential Threshold dinilai LaNyalla lebih banyak dampak buruk, atau mudharat, dari penerapan ambang batas ini. Mulai dari pembelahan yang menimbulkan konflik di masyarakat karen hanya ada dua pasang calon yang head to head, hingga potensi anak bangsa yang tak bisa muncul.
“Belum lagi adanya mundurnya kesadaran dan partisipasi politik rakyat. Golput menjadi tinggi, karena calon terbaik menurut mereka tidak mendapat tiket untuk maju. Lalu ketidakberdayaan partai politik kecil cenderung di hadapan partai politik besar. Mereka tidak bisa ajukan calon karena aturan ambang batas pencalonan presiden itu menjadikan partai politik besar atau gabungan partai politik yang dapat mengusung capres dan cawapres,” jelasnya.
Apalagi, Presidential Threshold dikatakan untuk memperkuat sistem presidensil, agar presiden terpilih memiliki dukungan yang kuat di parlemen, justru membuat mekanisme check and balances menjadi lemah. Sebab partai politik besar dan gabungan partai politik menjadi pendukung presiden terpilih.
“Kemudian yang terjadi adalah bagi-bagi kekuasaan dan Partai Politik melalui Fraksi di DPR RI menjadi legitimator kebijakan pemerintah. Berkongsi dalam politik sebenarnya wajar. Tetapi menjadi jahat, ketika kongsi dilakukan dengan mendesain hanya agar hanya ada dua pasang kandidat Capres-Cawapres, yang bisa benar-benar berlawanan dan memecah bangsa, atau sebaliknya bisa pula seolah-olah berseteru,” papar Senator dari Jawa Timur itu.
Dalam kegiatan yang digelar Poros Sahabat Nusantara (POSNU) dengan tema 'Pemuda Memahami Kebutuhan Negara Dalam Konteks Amandemen Konstitusi', LaNyalla menyampaikan perlunya memperbaiki sistem ekonomi negara ini. Sebab sejauh ini keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia belum terwujud.
LaNyalla bukan asal bicara terkait hal itu. Namun dia sendiri sejak dilantik sebagai Ketua DPD pada Oktober 2019 lalu sudah keliling ke seluruh Indonesia untuk melihat dan mendengar secara langsung aspirasi dan permasalahan yang dihadapi daerah dan stakeholder yang ada di daerah.
“Dari perjalanan dari Sabang sampai Rote itu saya menemukan satu kesimpulan, yaitu keadilan sosial yang jadi tujuan inti dari lahirnya negara ini belum terwujud karena adanya kekuatan modal dan kapital dari segelintir orang untuk mengontrol dan menguasai kekayaan dan kekuasaan atau Oligarki,” tegasnya.
Dimana, lanjutnya, oligarki memang dibuka peluangnya setelah Amandemen Konstitusi tahap 1 sampai 4 dengan adanya penambahan 2 ayat di pasal 33 UUD 1945. Penambahan 2 ayat hasil amandemen yang lalu itu, sadar atau tidak, membuat cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak telah diserahkan kepada pasar.
“Padahal para pendiri bangsa ingin kekayaan Sumber Daya Alam negeri ini harus dikelola dengan prinsip kekeluargaan dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sehingga mereka melahirkan sistem ekonomi yang dikelola dengan Azas Kekeluargaan atau kita kenal dengan Sistem Ekonomi Pancasila,” paparnya lagi.
Oleh karena itu, ditambahkan LaNyalla, wacana Amandemen perubahan ke-5 yang kini tengah bergulir harus menjadi Momentum untuk melakukan koreksi atas sistem ekonomi negara untuk tujuan Indonesia yang lebih baik. Lebih berdaulat dan berdikari serta mampu mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
“Begitulah pemikiran luhur para pendiri bangsa kita dalam merancang Indonesia masa depan. Karena itulah, saya terus menyampaikan pikiran-pikiran ini untuk menggugah kesadaran publik agar terbangun suasana kebatinan yang sama dalam menjadikan Indonesia sebagai negara yang dicita-citakan para pendiri bangsa ini. Bukan negara dengan mazhab kapitalisme liberal,” ucapnya.(*)