TRIBUNNEWS.COM - Ketua DPD RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti berharap kebijakan ekonomi nasional dikembalikan pada Pasal 33 UUD 1945 naskah asli. Menurutnya, ekonomi Pancasila adalah sistem yang paling sesuai dengan DNA asli bangsa Indonesia.
Hal itu disampaikan Ketua DPD RI dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema Sistem Ekonomi Pancasila untuk Indonesia yang Berdaulat, di Universitas Palangka Raya, Senin (17/1/2022).
"Sistem ekonomi Pancasila merupakan solusi kedaulatan ekonomi rakyat. Sebab lahir dengan spirit kekeluargaan dan gotong royong serta saling membantu yang dilandasi dengan kosmologi ketuhanan. Karena pada hakikatnya, negara ini adalah negara yang berlandaskan ketuhanan sesuai Sila Pertama dari Pancasila dan Pasal 29 UUD 1945," kata LaNyalla.
Pada kesempatan itu, Ketua DPD RI hadir didampingi Senator asal Kalteng Muhammad Rakhman dan Habib Said Abdurrahman, Fachrul Razi (Aceh), Bustami Zainuddin (Lampung), Andi Muh Ihsan (Sulsel) serta Staf Khusus Ketua DPD RI Sefdin Syaifudin dan Brigjen Pol Amostian.
Sementara narasumber yang dihadirkan yakni Rektor Universitas Palangka Raya, Dr Andrie Elia dan Rektor Universitas Kristen Palangka Raya (UNKRIP), Benius, Ph.D.
Dijelaskan LaNyalla, sistem ekonomi Pancasila tidak mengadopsi sistem sosialisme maupun kapitalisme.
"Makanya kita harus melakukan koreksi atas kebijakan perekonomian nasional yang tertuang di dalam Pasal 33 UUD hasil Amendemen Konstitusi di tahun 1999 hingga 2002 silam," tukasnya.
Senator asal Jawa Timur itu mengatakan, penambahan 2 Ayat di Pasal 33 UUD 1945 saat Amendemen, secara sadar atau tidak, cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak telah diserahkan kepada mekanisme pasar.
"Padahal sebelum Amendemen, Pasal 33 UUD 1945 sudah sangat jelas memberi arahan sistem perekonomian nasional dengan 3 Ayat yang tertulis," katanya.
Tetapi setelah Amendemen 20 tahun yang lalu dengan dalih efisiensi, terbuka peluang sebesar-besarnya bagi swasta untuk menguasai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Swasta dapat untuk meraup keuntungan yang ditumpuk dan dilarikan ke luar Indonesia melalui lantai bursa," paparnya.
Menurut LaNyalla, Indonesia telah meninggalkan sistem ekonomi Pancasila, menjadi sistem ekonomi liberal kapitalisme.
"Padahal Mohammad Hatta, Wakil Presiden pertama Indonesia, telah menggagas kebijakan ekonomi Indonesia dengan memisahkan secara jelas tiga sektor atau palka yaitu Koperasi atau Usaha Bersama Rakyat, BUMN dan Swasta. Meskipun boleh terjadi irisan satu sama lain tetapi aktivitas usaha rakyat melalui Koperasi harus diberikan kesempatan hidup," katanya.
Dijelaskan oleh LaNyalla, koperasi dimaknai sebagai Cara atau Sarana untuk Berhimpun bagi rakyat, dengan tujuan untuk memiliki secara bersama-sama alat industri atau sarana produksi. Sehingga para anggota Koperasi, sama persis dengan para pemegang saham di lantai bursa.
"Bedanya, jika pemegang saham di lantai bursa bisa siapapun, termasuk orang Asing. Maka Koperasi hanya dimiliki oleh warga negara Indonesia," ucap dia.
Ditambahkannya, bila rakyat memiliki kemampuan mengorganisir diri dalam melakukan aktivitas ekonomi di daerahnya, sudah seharusnya negara memberi dukungan sebagai usaha rakyat melalui Koperasi.
Sehingga mereka mendapat akses untuk memenuhi kebutuhan ekonominya. Bukan malah diusir, dengan alasan karena sudah diberikan izin atau konsesi kepada swasta untuk mengelola.(*)