TRIBUNNEWS.COM – Komite III DPD RI kembali menggelar Kegiatan Kunjungan Kerja Komite III DPD RI dalam Rangka Inventarisasi Meteri Pengawasan DPD RI atas Pelaksanaan Undang-undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Senin (07/02/2022).
Kunjungan Kerja tersebut dihadiri oleh Pimpinan dan Anggota Komite III DPD RI, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Timur, Ketua Umum Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Provinsi Jawa Timur, Asosiasi Fakultas Kedokteran Swasta Indonesia, Asosiasi Institusi Pendidikan Kedokteran Indonesia, Pengurus Rumah Sakit, Akademisi dan Pihak-pihak terkait lainnya.
Kunjungan Kerja dibuka langsung oleh Pimpinan Komite III DPD RI Muhammad Rakhman di Kantor Gubernur Provinsi Jawa Timur.
Melalui sambutannya Pimpinan DPD RI, Muhammad Rakhman menyampaikan Gagasan akses layanan kesehatan tidak hanya sekadar pemikiran, namun sebagai hak konstitusional warga negara yang dijamin oleh negara.
“Kehadiran negara dalam pemenuhan jaminan kesehatan telah dijamin oleh konstitusi, oleh karena itu pemenuhan derajat kesehatan masyarakat merupakan sebuah keniscayaan yang wajib dipenuhi,” ujar Muhammad Rakhman dalam sambutannya.
“Dalam konteks pemenuhan kesehatan, rumah sakit menjadi institusi yang sangat penting. Sebab, melalui rumah sakit pelayanan kesehatan bagi publik dapat dipenuhi secara optimal,” lanjut Pimpinan Komite III DPD RI asal Kalimantan Tengah.
Setidaknya terdapat 8 topik pembahasan, salah satu diantaranya adalah mengenai lambatnya proses klaim BPJS Kesehatan.
Menanggapi hal tersebut, Senator asal Kalimantan Utara, Hasan Basri menekankan pentingnya peran puskesmas untuk melakukan tindakan skrining serta melakukan tindakan promotif dan preventif sehingga fasilitas BPJS Kesehatan bisa dilakukan untuk masyarakat yang benar-benar membutuhkan.
“Perlu adanya tindak lanjut dan kooridnasi antara kementerian terkait agar proses klaim BPJS Kesehatan tidak menyulitkan masyarakat dan berjalan dengan semestinya,” ujar Senator asal Kalimantan Utara.
Lebih lanjut senator muda asal Kalimantan Utara Hasan Basri menilai saat ini belum terjadi pemerataan distribusi dokter spesialis di sejumlah wilayah. Hal tersebut menjadi salah satu akar persoalan kurang maksimalnya pelayanan kesehatan kepada masyarakat di daerah.
“Keengganan para dokter spesialis mengabdi di daerah bukan tanpa alasan. Minimnya fasilitas kesehatan yang ada disinyalir menjadi salah satu alasan,” ujar Senator asal Kalimantan Utara
“Kita ambil contoh tahun 2020, 6.755 dokter spesialis yang tersebar di RS Jakarta. Jumlah tersebut menjadi yang terbesar dibandingkan provinsi-provinsi lainnya di Indonesia. Kemudian, ditempati dengan posisi kedua ditempati Jawa Barat yang memiliki 5.711 dokter spesialis di RS. Selanjutnya di Jawa Timur dengan 5.554 dokter spesialis di RS. Sementara,di Maluku Utara menjadi provinsi dengan jumlah dokter spesialis di RS terendah secara nasional, yakni 94 orang,” papar Hasan Basri
Hasan Basri menilai data tersebut menunjukkan persebaran dokter spesialis masih belum merata di seluruh Indonesia. Padahal, di situasi yang terjadi saat ini jumlah pemerataan dokter spesialis sangat krusial.
“Selain itu, menjadi perhatian kita bersama mengenai subsidi alat-alat kedokteran bea masuk agar dinolkan sehingga tidak membebani masyarakat, tujuannya adalah agar pelayanan kesehatan dan pendidikan lebih terjangkau,” tegas Hasan Basri.
Hasan Basri yang akrab disapa HB juga memberikan contoh program bayi tabung di Negara Vietnam hanya menghabiskan biaya 20 juta, sedangkan di Indonesia bisa mencapai 60 juta sampai dengan 80 juta.
“Selisih harga yang relatif cukup jauh, tentu menjadi perhatian kita bersama khususnya kementerian terkait dalam menetapkan anggaran program bayi tabung," tutup Hasan Basri (*)