TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan menilai Pemerintah masih ragu-ragu dan sangat berhati-hati mematok asumsi makro dalam RAPBN 2017.
Hal itu dipengaruhi oleh ketidakpastian kondisi ekonomi domestik dan global yang perlu kematangan memproyeksikan tentang ekonomi nasional masa depan oleh Pemerintah.
Pemerintah, lanjut Heri harus memperhatikan kenyataan-kenyataan yang ada, semisal BI rate masih tidak menentu karena terkait faktor eksternal.
Selanjutnya, kenyataan-kenyataan mengenai nilai Inflasi masih di koridor 3-4% dan SBN yang kurang berpihak pada bisnis yang kondusif.
Bukan hanya kenyataan dalam negeri saja yang harus diperhatikan Pemerintah, melainkan kenyataan di luar negeri juga.
Perlambatan ekonomi di Tiongkok akibat rapid aging society (cepatnya peningkatan populasi usia tua) berpengaruh terhadap kondisi ekonomi dalam negeri.
Lebih lanjut, potensi arus modal keluar dalam jangka pendek juga jadi masalah yang harus diperhatikan karena mampu menekan nilai tukar rupiah.
Belum lagi risiko penyerapan anggaran yang kecil di daerah.
”Dengan keadaan seperti itu, ke depan perekonomian nasional tetap tidak akan menunjukkan perkembangan yang lebih baik. Pertumbuhan ekonomi yang nanti dihasilkan tidak akan mengubah apapun. Yang miskin tetap miskin. Yang rentan miskin sangat mungkin jatuh miskin. Untuk diketahui, saat ini, jumlah penduduk miskin sudah mencapai 28,51 juta orang atau sekitar 11,13%,” papar politisi Gerindra ini.
Seperti diketahui, pemerintah telah menyampaikan asumsi makro ekonomi dalam RAPBN 2017 di hadapan Komisi XI DPR.
Asumsi makro ekonomi yang disampaikan antara lain: Pertumbuhan ekonomi 5,3-5,9%, inflasi 3-5%, nilai tukar rupiah dipatok Rp 13.650-Rp13.900 per USD, dan SBN 5-5,5%.
Menurut Heri yang paling realistis adalah pertumbuhan ekonomi 5,2-5,5%, inflasi 3-4,5%, nilai tukar rupiah Rp 13.300-Rp 13.500 per USD, dan SBN 5,0-5,5%.
“Idealnya penyusunan RAPBN lebih realistis dan berdasarkan kondisi perkembangan ekonomi yang ada,”tutur Heri.
Pada bagian lain, Heri menjelaskan, angka pengangguran berpotensi terus meningkat hampir 8 juta orang.
Angka pengangguran itu didasari oleh kenyataan belum mampunya Pemerintah membuka lapangan kerja baru dan efisiensi sebagian besar satuan bisnis termasuk UMKM yang membuat usaha-usaha itu ditutup.
Kedua hal itu tak bisa dilepaskan dari pasar yang lesu dan ramainya tenaga kerja asing yang mengisi lapangan kerja nasional.
“Pemerintah harus bekerja keras lagi dalam mendorong perekonomian nasional yang kuat dan punya dampak nyata untuk kesejahteraan masyarakat. Dari berbagai survei yang ada, mayoritas masyarakat menilai buruk kesejahteraan masyarakat pada pemerintahan Jokowi,” ungkap mantan Wakil Ketua Komisi VI DPR tersebut.
Sementara itu, lanjut Heri, masyarakat yang tidak puas atas kinerja pemerintahan Jokowi di atas 50% dan terus meningkat sejak dilantik pada Oktober 2014 lalu.
Semua angka ini, kata Heri, merupakan refleksi atas kegagalan pemerintah menciptakan perekonomian nasional yang kuat.
“Ini sudah waktunya menjadi warning keras bagi pemerintah agar tidak santai,” tutup Heri.
(Pemberitaan DPR RI)