TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VI DPR RI Achmad Baidowi menilai perlu adanya tinjauan ulang terhadap regulasi dan sistem perdagangan di Indonesia.
Hal tersebut dikarenakan banyaknya regulasi-regulasi yang memberatkan, sehingga mengakibatkan tingginya jumlah impor dari pada ekspor. Bahkan, nilai ekspor cenderung defisit.
“Kalau dilihat memang malu juga, ekspor kita mengalami defisit terus. Malah kemarin sampai-sampai cangkul saja impor, ini kan hal yang sederhana. Jika seperti ini, berarti ada masalah yang harus segera diselesaikan,” katanya saat RDPU Komisi VI DPR RI dengan Akademisi dan Praktisi Perekonomian Gedung Nusantara, Senayan, Jakarta, Selasa (12/11/2019).
Baca: E-Parliament Segera Dikampanyekan
Selain regulasi, lanjut Baidowi, Pemerintah juga harus memperhatikan dari sisi yang lain seperti permasalahan besaran upah buruh.
“Saya kira bukan hanya soal regulasi saja, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal yang lain, seperti upah. Sehingga jangan dilihat dari satu sisi saja,” imbuh politisi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) itu.
Baidowi mengatakan, RDPU Komisi VI DPR RI dengan praktisi perdagangan agar meminta masukan-masukan terkait perdangan Indonesia yang semakin tertinggal dari negara lain.
Baca: Legislator Tegaskan Agar BNPT Buat Peta Rawan Terorisme
“Saya kaget ketika melihat paparannya langsung terkait perdagangan Indonesia yang semakin tertinggal. Untuk itu kita meminta kepada rekan-rekan praktisi perdagangan untuk memberikan solusi yang tepat,” pungkas Baidowi.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia defisit 160,5 juta dollar AS pada September 2019. Secara kumulatif, defisit neraca perdagangan periode Januari-September 2019 turun 49 persen menjadi 1,95 miliar dollar AS dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 3,82 miliar dollar AS.
Defisit neraca dagang ini salah satunya disumbang oleh impor migas yang tinggi, yang nilainya mencapai 1,59 miliar dollar AS. Sedangkan, ekspor migas nasional hanya mencapai 830,1 juta dollar AS. (*)