TRIBUNNEWS.COM - Pemerintah menghapus Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) dari Kabinet Indonesia Maju dan meleburnya dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).
Adapun penggabungan tersebut telah disetujui DPR melalui Rapat Paripurna dengan nama Kemendikbud-Ristek.
Selain itu, paripurna juga menyetujui pembentukan Kementerian Investasi dan Penciptaan Lapangan Kerja, sebagai kementerian baru.
Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XI DPR RI Anis Byarwati menyampaikan bahwa jika melihat tujuan pembentukannya untuk meningkatkan investasi dan membuka lapangan kerja, menurutnya pembentukan Kementerian Investasi bukan solusi yang tepat untuk mengatasi persoalan investasi di tanah air.
“Kalaupun direalisasikan, kementerian ini hanya akan menyelesaikan persoalan di bagian hilir investasi saja,” kata Anis melalui keterangan tertulisnya, Kamis (15/4/2021). Anis menyampaikan data bahwa World Economic Forum (WEF) pernah merilis 16 faktor yang menjadi penghalang iklim investasi di Indonesia. WEF menempatkan korupsi dengan skor tertinggi, yaitu sebesar 13,8 sebagai faktor utama penghambat investasi di Indonesia.
“Dari 16 faktor tersebut, korupsi menjadi kendala utama yang sangat menggangu dan merugikan. Maraknya praktik suap, gratifikasi, dan pelicin yang dilakukan sejumlah oknum, terutama dalam pengurusan perizinan, mengakibatkan sejumlah dampak serius terhadap investor,” papar politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.
Wakil Ketua Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR RI ini juga menjelaskan faktor kedua yang mempengaruhi investasi di dalam negeri yaitu inefisiensi birokrasi dengan skor 11,1. Dilanjutkan dengan akses ke pembayaran dengan skor 9,2, infrastruktur tidak merata dengan skor 8,8 dan kebijakan tidak stabil dengan skor 8,6 yang melengkapi 5 faktor utama.
Anis juga memaparkan data lain yang terkait dengan posisi Indonesia di dalam rangking Ease of Doing Business dari Bank Dunia (2020) yang dalam banyak hal merefleksikan efektivitas dan efisiensi dari birokrasi. EDBBD menempatkan Indonesia berada di level 73. “Level yang menunjukkan posisi relative masih rendah,” ungkapnya.
Ranking Indonesia selama tiga tahun terakhir relative stagnan, dan masih di bawah negara-negara tetangga di ASEAN. Sebut saja Singapura di posisi ke 2, Malaysia di posisi 12, Thailand di posisi 21, Brunei di posisi 66, dan bahkan Vietnam di posisi 70.
Senada dengan itu, laporan Bank Dunia yang berjudul “Global Economic Risk and Implications for Indonesia”, menyatakan Indonesia dinilai berisiko, rumit, dan tak kompetitif.
Hal lain yang menjadi penghambat investasi, lanjut Anis, adanya faktor regulasi yang seringkali tidak terprediksi, inkonsisten, dan saling bertentangan. Alasan lain yang juga sering kali mengganjal investasi dalam negeri yakni instabilitas pemerintah yang mendapat skor 6,5. Kemudian tarif pajak yang dirating 6,4. Lalu etos kerja buruh mendapat poin 5,8, regulasi pajak 5,2, dan pajak 4,7. Kelima alasan ini melengkapi 10 besar faktor yang menjadi penghalang perkembangan inflasi di Indonesia.
“Jadi, persoalan investasi di Indonesia begitu kompleks, tidak bisa hanya diselesaikan dengan membuat kementerian dan lembaga baru. Hulu, tengah, serta hilir harus diselesaikan berkesinambungan. Pemerintah harus menghilangkan 10 besar faktor penghambat investasi, atau setidaknya hilangkan 5 faktor utama penghambat investasi,” tutup legislator dapil DKI Jakarta I itu. (*)