TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komite I DPD RI Abraham Liyanto mendesak pemerintah pusat dan daerah agar segera menyelesaikan berbagai Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) dan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Alasannya, kehadiran RTRW dan RDTR sangat penting dalam mempercepat pembangunan di tingkat nasional maupun daerah.
“Ketiadaan tata ruang menghambat pembangunan. Masih banyak wilayah di republik ini yang belum memiliki RTRW, apalagi RDTR,” kata Abraham di Jakarta, Kamis, (10/6).
Ia menyebut UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, sudah sangat jelas menyebut tujuan pembuatan tata ruang. Pasal 3 UU itu menyatakan tata ruang bertujuan terwujudnya keharmonisan antara lingkungan alam dan lingkungan buatan.
Kemudian terwujudnya keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya manusia. Tujuan lainnya adalah terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Akan tetapi, menurut Abraham, tujuan mulia dari UU itu belum terlaksana di negara ini. Buktinya, dari 514 Kabupaten dan Kota di tanah air, baru 56 daerah yang memiliki RDTR. Sementara yang memiliki RTRW belum mencapai 90 persen.
Abraham mengemukakan, salah satu dampak dari ketiadaan RTRW dan RDTR adalah terjadinya pemborosan dalam pembangunan. Sebagai contoh, hampir tiap tahun terjadi proyek pelebaran jalan di berbagai daerah.
Kemudian ada pembangunan fasilitas publik seperti telpon, listrik, air, selokan. Proyek-proyek ini hampir tiap tahun juga dibongkar karena ada pelebaran jalan atau pembangunan fasilitas baru di lokasi yang ada sekarang.
Hal lain adalah adanya penggusuran rumah masyarakat untuk alih fungsi kawasan. Kebijakan ini akan melahirkan ganti rugi lahan yang sangat mahal.
“Jika tata ruang sudah dibuat, tidak ada pembongkaran dan pergeseran seperti itu. Kalau tiap tahun selalu ada pembongkaran, kan menyebabkan pemborosan. Anggaran negara hanya habis untuk proyek-proyek yang mubazir seperti ini,” ujar Abraham.
Senator dari Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) ini juga melihat ketiadaan ketiadaan RTRW dan RDTR menyebabkan penetapan lokasi proyek di daerah-daerah asal tunjuk oleh penguasa. Penetapan lokasi juga lebih banyak ditetapkan bergantung bayaran dari pengusaha. Semakin besar uang yang dibayar, lokasi proyek mudah ditentukan.
“Tidak ada studi kelayakan apakah satu lokasi itu memenuhi syarat untuk bangun sebuah pabrik atau tidak. Atau studi kelayakan sebuah lokasi layak dijadikan kompleks perumahan, mall, pabrik, dan sebagainya. Semua bergantung transaksi dari pengusaha ke penguasa. Itu karena tidak ada tata ruang,” jelas Abraham.
Menurutnya, kondisi ini menyebabkan pengusaha harus mengeluarkan biaya besar untuk investasi. Padahal jika sudah ada peta tata ruang, biaya-biaya yang dikeluarkan sudah bisa diukur berdasarkan zona tata ruang yang sudah dibuat.
“Ini yang membuat mahal biaya investasi. Karena biaya ditetapkan sesuka hati saja oleh penguasa. Biasanya, ada-ada saja cara mencari uang ketika kita mengurus ijin usaha,” tegas Abraham yang juga Ketua Kadin Provinsi NTT.
Dia memberi contoh di Singapura, tata ruang secara nasional sudah dibuat. Tata ruang nasional itu kemudian dijabarkan menjadi RDTR hingga ke sudut-sudut wilayah Singapura. Baik penguasa maupun pengusaha, tidak akan melanggar tata ruang yang sudah ada. Tinggal bangun kota berdasarkan peta tata ruang yang sudah ditetapkan.
“Kita di sini tidak jelas. Satu lokasi bisa dibangun pusat perkantoran, hotel, mall, kampus, bahkan pabrik. Tidak peduli bagaimana daya dukung dan daya tampung lokasi itu. Pokoknya numpuk satu tempat,” tegas Abraham.
Dia juga melihat penetapan RTRW antara tingkat pusat dan daerah belum sinkron. Masih banyak tumpang-tindih RTRW di tingkat pusat dan daerah. Kondisi itu menghambat eksekusi sebuah kebijakan karena saling tarik-menarik kepentingan, baik pusat maupun daerah.
“Investor butuh kepastian hukum. Kalau terjadi tumpang-tindih RTRW, investor jadi ragu melakukan investasi karena tidak ada kepastian hukum,” kata Abraham.
Dia berharap dengan adanya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dapat mempercepat pembentukan RTRW maupun RDTR di berbagai daerah. Hal itu karena pembentukan tata ruang tidak lagi menjadi kewenangan pemerintah daerah tetapi telah ditarik oleh pemerintah pusat.
“Kita berharap ini menjadi solusi. Selama ini diserahkan ke daerah tetapi tidak kunjung selesai. Semoga dengan ditarik ke pusat, bisa segera memiliki RTRW maupun RDTR di daerah-daerah. Kemudian bisa direvisi tiap 5 atau 10 tahun untk mengikuti pertumbuhan suatu daerah,” ujar Abraham.
Sebagaimana diketahui, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, Pasal 9, Ayat 1 telah memangkas habis kewenangan pemerintah daerah dalam penataan ruang. Disebutkan kewenangan penataan ruang berada di pemerintah pusat yang mencakup penetapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) untuk penyelenggaraan penataan ruang. Sementara penataan ruang oleh pemerintah daerah harus mengacu pada NSPK yang telah dibuat pemerintah pusat.
Ketentuan dalam UU Cipta Kerja ini mengubah wewenang Pemda yang diatur dalam Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam UU lama, disebutkan Pemda berwenang terhadap penataan ruang wilayah, penataan ruang kawasan strategis dan penataan ruang antar kabupaten/kota atau antar provinsi.
Pemda juga berwenang dalam penetapan kawasan strategis, perencanaan tata ruang kawasan strategis, pemanfaatan ruang kawasan strategis hingga pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis. (*)