TRIBUNNEWS.COM - Gejolak politik di Tunisia mengundang perhatian Ketua Badan Kerja Sama Antar Parlemen (BKSAP) DPR RI Fadli Zon. Pasalnya, atas nama kedaruratan, Presiden Tunisia Kais Saeid pada 25 Juli lalu mengambil keputusan memberhentikan Perdana Menteri Hichem Mechchi sekaligus membekukan Parlemen Tunisia. Tak hanya itu, Presiden Kais Saeid juga memerintahkan warga untuk turun ke jalan dan mendukung langkah politiknya.
Dalam virtual meeting dengan Duta Besar Tunisia H.E. Riadh Dridi pada Selasa (10/8/2021), Fadli Zon mengungkapkan keprihatinannya atas kondisi politik di Tunisia yang sedang tidak stabil. Sebagai salah satu mitra strategi Indonesia di Afrika Utara, Fadli berharap krisis politik di Tunisia dapat segera teratasi dan demokratisasi yang telah berjalan hampir satu dekade dapat terus dilanjutkan.
Dalam pertemuan secara virtual tersebut, Dubes Tunisia H.E. Riadh Dridi memaparkan latar belakang dinamika politik terkini di Tunisia. Menurut Dubes Tunisia, keputusan Presiden Kais diambil sebagai respon atas situasi darurat, dan hal tersebut diatur di dalam konstitusi Tunisia pasal 80, dimana seorang Presiden diberikan mandat untuk menetapkan exceptional situation.
Gejolak terjadi karena ada perbedaan pandangan terkait pasal 80. Pihak oposisi menilai exceptional situation dapat diberlakukan oleh Presiden dengan terlebih dahulu melakukan konsultasi bersama perdana menteri dan parlemen, serta melakukan pemberitahuan kepada Mahkamah Konstitusi.
Fadli menegaskan posisi parlemen sebagai tulang punggung demokrasi. Hingga saat ini, parlemen Tunisia dan DPR RI memiliki hubungan yang sangat baik. Salah satunya, ditandai dengan dibentuknya Grup Kerja Sama Bilateral (GKSB) Indonesia-Tunisia. Melalui GKSB, parlemen kedua negara kerap bertukar pengalaman terkait penguatan lembaga parlemen di masa transisi.
Lebih lanjut, Fadli menyampaikan dukungannya terhadap stabilitas dan penguatan demokrasi di Tunisia. Sejak peristiwa Arab Spring yang menandai gelombang demokratisasi, Tunisia merupakan salah satu negara yang berhasil melalui masa transisi politik. Bahkan Tunisia termasuk shining example. Oleh karena itu, Fadli berharap agar Parlemen Tunisia sebagai pilar demokrasi dapat tetap menjalankan peran strategisnya.
Politisi Partai Gerindra tersebut menegaskan bahwa hubungan Indonesia dan Tunisia memiliki sejarah panjang sejak tahun 1960. Kedua negara juga merupakan anggota di Organisasi Kerjasama Islam (OKI) dan Perhimpunan Parlemen OKI (PUIC).
Melalui pertemuan virtual tersebut, Fadli berharap komunikasi ini dapat memperkuat kemitraan kedua negara dan memperkuat komitmen atas peran strategis hubungan antarparlemen dalam kerangka memajukan persahabatan dan kerja sama kedua negara. (*)