TRIBUNNEWS.COM - Anggota Komisi VIII DPR RI Bukhori mengkritik rencana pemerintah memberlakukan syarat wajib tes polymerase chain reaction (PCR) bagi semua moda transportasi, khususnya jelang libur Natal dan Tahun Baru (Nataru). Sikap pemerintah itu dipertanyakan, sebab menurut Bukhori, tuntutan publik adalah meminta penghapusan syarat wajib Tes PCR bukan menurunkan tarif tes menjadi Rp300 ribu.
“Jika pertimbangan pemerintah murni demi kesehatan dan mitigasi risiko gelombang ketiga, maka tentunya bukan tes usap PCR yang menjadi syarat mutlak untuk perjalanan, melainkan cukup rapid test antigen. Sebab, tujuan dari tes PCR adalah untuk tes konfirmasi Covid-19, sedangkan rapid test antigen adalah untuk skrining,” ucap Bukhori dalam keterangan tertulis, Kamis (28/10/2021).
Demi menjawab tuntutan publik, Anggota Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPR RI ini melanjutkan, pemerintah tidak cukup sekadar menetapkan batas harga tertinggi tanpa intervensi langsung melalui kebijakan subsidi. Faktanya, potensi pembengkakan biaya sangat potensial terjadi di pasar kendati pemerintah sudah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET).
“Sampai saat ini pemerintah belum transparan soal komponen biaya Tes PCR yang perlu diketahui publik. Apakah dengan tarif Rp300 ribu sudah mencakup segala komponen pembiayaan seperti jasa pengambilan sampel, alat tes, hingga alat pelindung diri (APD) bagi nakes terkait? Sebab, biaya lain-lain inilah yang berpotensi disiasati pelaku bisnis agar tetap meraup untung tinggi sehingga menyimpang dari ketentuan pemerintah,” ujar Bukhori.
Karena itu, Bukhori mendesak pemerintah untuk segera membatalkan rencana tes PCR sebagai syarat wajib menggunakan semua moda transportasi maupun syarat wajib bagi moda transportasi pesawat sebagaimana yang sudah diberlakukan saat ini.
Sebab, menurutnya, berdasarkan laporan yang dimuat di jurnal The New England Journal of Medicine menyebut tingkat penularan virus di pesawat hanya 1,8 persen. Rendahnya tingkat infeksi virus di pesawat salah satunya dikarenakan faktor sistem filtrasi udara HEPA (High Efficiency Particulate Air) yang disuplai di dalam kabin bertekanan selama penerbangan.
“Pun jika ingin diperketat, syarat vaksin dosis pertama sebenarnya sudah cukup memadai atau kapasitas okupansi pesawat yang dikembalikan menjadi 50 persen. Apalagi untuk moda transportasi udara, tingkat penularan virusnya relatif rendah," tambah Bukhori.
Dirinya mengusulkan supaya kebijakan mobilitas dikembalikan seperti sedia kala, yaitu cukup menggunakan rapid test antigen atau menetapkan tarif tertinggi tes PCR yakni Rp100 ribu melalui skema subsidi.
“Pada akhirnya seruan untuk menurunkan harga tes PCR tak ubahnya hanya sekadar basa-basi pemerintah yang sama sekali tidak bermanfaat bagi publik. Jangan peras rakyat dengan dalih risiko gelombang ketiga di kala pemerintah punya sejumlah alternatif untuk memitigasi risiko ini tanpa memberatkan rakyat. Oleh karena itu, pemerintah mesti segera membatalkan syarat tes PCR ini karena sarat dengan kepentingan bisnis dan diskriminatif,” tutup legislator dapil Jawa Tengah I tersebut.(*)