oleh: Willy Kumurur
Setiap sosok manusia dibekali kemampuan untuk memimpin, kata Dante Alighieri, penyair dan filsuf Italia, dan Andrea Pirlo menerjemahkannya di lapangan hijau. “Sri Baginda” Cesare Prandelli memilih Pirlo sebagai panglima perang, memimpin Gli Azzuri – Italia untuk menyingkirkan The Three Lions Inggeris.
Pelatih top Italia Marcello Lippi menjulukinya sebagai the silent leader (pemimpin diam-diam). Ia mempertahankan kemampuannya untuk mengumpan sejauh empat puluh meter dan merobek-robek pertahanan lawan. Sebagai jenderal lapangan tengah, Pirlo menjadi inspirator, motivator dan motor serangan ke kubu pertahanan Tiga Singa.
Ketika adu penalti menjadi alternatif terakhir untuk menentukan siapa yang berhak maju ke semifinal menantang Der Panzer - Jerman, punggawa La Vecchia Sinyora - Juventus itu bermetamorfosa menjadi seniman saat membobol gawang yang dijaga kiper Manchester City - Joe Hart. Dunia terhenyak bukan karena “Jenderal” Pirlo sukses “menewaskan” Inggeris, namun karena seni mencetak gol melalui penalti adalah representasi kehandalan seorang veteran.
“Pirlo adalah seorang master sepakbola dan penaltinya sangat luar biasa," puji gerendel Manchester United, Rio Ferdinand. Juara dunia 9 kali MotoGP, Valentino Rossi, memberi komentar, “Pirlo membawa daya magis melalui congkelan bolanya. Italia tidak bisa kalah setelah congkelan Pirlo. Luar biasa!" Sementara gelandang Udinese, Kwadwo Asamoah, yang bakal bergabung ke Turin juga menulis di Twitter, "Pirlo. Mamma Mia!"
Klub raksasa AC Milan mesti gigit jari, karena setelah sepuluh tahun Pirlo membela panji dan mengibarkan bendera I Rossoneri, ia dibuang dan dicampakkan.
Pirlo mesti meninggalkan San Siro, tempat di mana ia mempersembahkan jiwa dan raganya. Di luar lapangan, Pirlo tak terlalu banyak dieskpos media. Wawancara dengan lelaki pendiam itu sejarang senyum di wajah lelaki bersorot mata sayu itu.
“Ruang ganti pakaian dan lapangan bola; itulah batas-batas saya," ujarnya lirih suatu waktu. Carlo Ancelloti yang pernah menangani Pirlo di AC Milan berkata, "Lihatlah apa yang dilakukan Pirlo. Hanya seorang genius yang dapat melakukannya. Jika menjadi Joachim Loew, saya akan berhati-hati ketika bertemu Italia agar tidak mengalami kekecewaan."
Di tengah gebyar sanjungan dari berbagai penjuru dunia terhadap Pirlo dan Gli Azzuri, Der Panzer - Jerman menunggu di semifinal dengan misi balas dendam. Aroma ini begitu kental karena di gelanggang Piala Dunia dan Piala Eropa, statistik menunjukkan bahwa dari 7 pertemuan terakhir, Italia lebih mendominasi dengan tiga kali kemenangan dan empat kali bermain imbang. Yang paling diingat kubu Jerman adalah kekalahan menyakitkan di semifinal Piala Dunia 2006.
Dua gol Italia dilesakkan di penghujung babak tambahan. “Sepakbola Jerman telah lama menunggu saat-saat seperti ini untuk menuntaskan dendam lama," ujar manajer Der Panzer, Oliver Bierhoff. Di balik harapan dan prediksi yang mengunggulkan Jerman, sesungguhnya adalah “ketakutan” di kubu Joachim Loew, karena statistik pertemuan dengan Italia seperti yang ditulis oleh kolumnis Von Udo Muras di koran Jerman Die Welt.
Namun, Felix Magath, pemain top Jerman tahun 1980-an, menghibur. “Lupakan statistik itu. Karena hari pertempuran itu bisa mengubah semuanya. Tim kami memiliki segalanya: teknik dan taktis, tubuh atletis dan barisan dengan organisasi yang rapi baik saat menyerang maupun bertahan.”
Gelanggang National Stadium Warsawa akan menjadi saksi bisu upaya balas dendam itu; dan Jumat dinihari adalah waktu untuk menemukan jawabannya. Apakah pasukan Der Panzer sanggup menggilas Gli Azzuri yang dipimpin oleh jenderal ahli strategi?***
Willy Kumurur adalah pencinta bola.