TRIBUNNEWS.COM -- Sebuah riset menunjukkan, para pemain Inggris sebenarnya jago dalam urusan penalti.
Data ilmiah menunjukkan, 90 persen tendangan penalti (bukan hanya pada babak adu penalti) yang dilakukan pemain Inggris, sukses menjadi gol.
Lalu apa yang membuat pemain Inggris gagal menjalankan tugas mereka saat final EURO 2020 hingga mereka kalah dari Italia?
Riset ilmiah itu menunjukkan satu hal yang menjadi faktor utama kegagalan penalti para pemain Inggris.
Baca juga: Data & Fakta Final EURO 2020 Inggris Vs Italia, Donnarumma Memang Superman, Inggris Anti-Adu Penalti
Italia akhirnya tampil sebagai juara Euro 2020 setelah menaklukkan Inggris di final melalui drama adu penalti.
Pada laga yang digelar di Stadion Wembley, London, Inggris, Senin (12/7/2021) dini hari WIB, itu kedua tim bermain imbang 1-1 sepanjang 120 menit.
Meski bermain di depan publik sendiri, The Three Lions justru lebih inferior dibanding Gli Azzurri.
Baca juga: Italia Juara EURO 2020, Pangeran William ke Skuat Inggris: Tegakkan Kepala Kalian!
Italia tampil lebih dominan dengan mencatatkan 61 persen penguasaan bola, sebagaimana dilansir UEFA.com.
Pasukan Roberto Mancini itu juga lebih banyak melepas tembakan, yaitu sebanyak 20 kali dengan enam di antaranya tepat mengarah ke gawang lawan.
Sedangkan tim asuhan Gareth Southgate hanya mampu mencatatkan total enam tembakan dengan hanya satu yang tepat sasaran ke gawang.
Italia juga lebih baik dalam akurasi passing, yakni 91 persen (836 kali) berbanding 78 persen (436 kali).
Baca juga: Amarah Hooligan Inggris Serang Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka, Polisi Turun Tangan
Dari jumlah itu, Italia sukses passing sebanyak 758, sedangkan Inggris hanya 340.
Inggris mampu unggul terlebih dahulu melalui gol cepat Luke Shaw memanfaatkan umpan Kieran Trippier.
Namun, Italia mampu menyamakan kedudukan di babak kedua, tepatnya di menit ke-66, melalui kaki Leonardo Bonucci.
Baca juga: Senyum Bahagia Berganti Wajah Masam, Penggawa Kerajaan Inggris Kena Prank Kemenangan Italia
Skor imbang 1-1 bertahan hingga 90 menit waktu normal, sehingga laga harus dilanjutkan ke babak perpanjangan waktu.
Meski sempat memperoleh beberapa peluang di babak tambahan, pada akhirnya kedua tim sama-sama gagal mencetak gol.
Alhasil, penentuan juara Euro 2020 kali ini terpaksa ditentukan melalui babak adu penalti.
Di babak adu penalti, Andrea Belotti dan Jorginho menjadi pemain Italia yang gagal melaksanakan tugasnya.
Sementara Domenico Berardi, Leonardo Bonucci, dan Federico Bernardeschi sukses mengeksekusi penalti dengan baik.
Baca juga: Data & Fakta Final EURO 2020 Inggris Vs Italia, Donnarumma Memang Superman, Inggris Anti-Adu Penalti
Adapun di kubu tuan rumah, terdapat tiga penendang yang gagal mengonversi penalti menjadi gol.
Mereka adalah Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan penendang terakhir Bukayo Saka.
Gianluigi Donnarumma, yang sukses menepis penalti Saka, akhirnya tampil sebagai pahlawan kemenangan Italia.
Kekalahan 2-3 Inggris dari Italia lewat adu penalti semakin memperburuk catatan mereka dalam adu penalti.
Tercatat, Inggris hanya memenangi 22 persen (2 dari 9) adu penalti di turnamen besar (Piala Dunia dan Euro).
Itu menjadi rasio terendah dibanding negara Eropa lainnya yang terlibat dalam tiga adu penalti atau lebih.
Baca juga: Italia Juara EURO 2020, Pangeran William ke Skuat Inggris: Tegakkan Kepala Kalian!
Padahal, riset ilmiah yang dilakukan para ilmuwan di Sport University of Cologne, Jerman, menunjukkan Inggris mampu mencetak 90 persen tendangan penalti (bukan hanya adu penalti) di dalam pertandingan.
Bahkan, itu menunjukkan bahwa tingkat konversi penalti Inggris selama pertandingan di atas rata-rata semua negara yang tercatat.
Akan tetapi, rasio tersebut kemudian turun menjadi 60 persen dalam babak adu penalti, di bawah rata-rata semua negara.
Adapun riset tersebut menggunakan data yang dikumpulkan dari 696 penalti di Piala Dunia dan Euro sejak 1976 (pertama kali adu penalti diperkenalkan).
Selain itu, ada 4.708 tendangan penalti yang diberikan dalam pertandingan di lima liga Eropa (Jerman, Spanyol, Inggris, Italia, dan Belanda).
Baca juga: Amarah Hooligan Inggris Serang Marcus Rashford, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka, Polisi Turun Tangan
Penulis studi atau riset, yakni Michel Brinkschulte, Philip Furley, dan Daniel Memmert, menyimpulkan bahwa tidak ada perbedaan signifikan antara tingkat keberhasilan penalti dengan negara.
"Satu-satunya hal yang dapat kami katakan adalah bahwa kewarganegaraan pemain tidak berdampak pada tingkat keberhasilan penalti."
"Ini adalah temuan yang menarik karena sekarang kita dapat menyimpulkan bahwa menjadi pemain Inggris tidak mempengaruhi kinerja dalam tendangan penalti."
"Pada gilirannya, fakta bahwa Inggris benar-benar kalah dalam adu penalti ini tidak secara otomatis berarti bahwa mereka buruk dalam mencetak tendangan penalti secara umum," ungkap Brinkschulte, sebagaimana dikutip SuperBall.id dari BBC.com.
Baca juga: Senyum Bahagia Berganti Wajah Masam, Penggawa Kerajaan Inggris Kena Prank Kemenangan Italia
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apa yang menyebabkan Inggris mengalami banyak kekalahan di babak adu penalti?
Par ilmuwan riset ilmiah tersebut menilai, adanya stereotip bahwa pemain Inggris buruk dalam adu penalti menjadi salah satu alasan.
Hal itu sering diwartakan oleh media dan selalu membekas di benak para pemain Inggris sampai saat ini.
Inggris mengalami kekalahan dari Jerman di Piala Dunia 1990 dan Euro 1996, Argentina pada 1998, dan Portugal pada 2004.
Sederet kagagalan tersebut pun memunculkan stereotip sedemikian rupa, sehingga kemenangan atas Spanyol di 1996 terhapus dari pikiran.
Baca juga: Data & Fakta Final EURO 2020 Inggris Vs Italia, Donnarumma Memang Superman, Inggris Anti-Adu Penalti
"Saya percaya, stereotip bahwa pemain Inggris buruk dalam adu penalti ada di kepala setiap pemain saat mereka berjalan ke titik penalti di pertandingan krusial."
"Stereotip telah banyak dibahas di media pada masa lalu dan pada dasarnya semua orang mengetahuinya."
"Sehingga pikiran-pikiran ini secara otomatis muncul di benak Anda, baik secara sadar maupun tidak sadar."
"Dalam makalah kami, kami mengutip riset yang menemukan bahwa perilaku seseorang dapat berubah hanya dari berpikir bahwa mereka termasuk dalam stereotip tertentu."
"Inilah mengapa saya menganggap riset seperti ini dan juga liputan media yang lebih positif tentang topik ini sangat penting."
"Tidak hanya untuk menghilangkan mitos ini dari para pemain tetapi juga dari kepala para penggemar," kata Brinkschulte. (Dwi Aryo/SuperBall)