TRIBUNNEWS.COM, NEWYORK - Majelis Umum PBB, Selasa (2/4/2013), telah menyetujui perjanjian internasional pertama yang mengatur perdagangan senjata konvensional, dimana diharapkan dapat mencegah jatunya senjata ke tangan kelompok teroris, pelaku kejahatan terorganisir, dan pelanggar hak asasi manusia.
Sorak-sorai membahana di ruang Majelis Umum PBB, ketika perjanjian itu disepakati. Semuanya itu berkat dukungan dari 154 negara anggota PBB.
"Ini adalah kemenangan bagi orang-orang di dunia," kata Sekretaris Jenderal PBB, Ban Ki-moon, seperti dikutip Jakarpost.com, Rabu.
"Perjanjian ini mempersulit senjata mematikan masuk ke pasar gelap. Ini merupakan alat baru yang kuat dalam upaya kita untuk mencegah pelanggaran HAM berat atau pelanggaran hukum kemanusiaan internasional," lanjutnya.
Amerika Serikat, negara pengekspor senjata terbesar di dunia, adalah salah satu negara yang mendukung perjanjian tersebut.
Sementara Iran, Korea Utara (Korut), dan Suriah, adalah pihak yang menentang perjanjian tersebut. Mereka berpendapat, perjanjian itu akan menghalangi hak mereka untuk membela diri.
Terdapat 23 negara abstain dalam pemungutan suara tersebut, diantaranya Rusia, China, India termasuk Indonesia.
Setelah diadopsi, setiap negara akan bebas untuk menandatangani dan meratifikasi perjanjian itu. Ini akan berlaku setelah ratifikasi ke-50, yang bisa memakan waktu hingga dua tahun.
Perjanjian itu bertujuan untuk memaksa negara-negara anggota PBB mengatur ekspor senjata. Selain itu mereka juga harus menilai apakah senjata-senjata itu akan digunakan untuk melakukan genosida, kejahatan perang atau teroris atau tidak. (jakartapost.com)