TRIBUNNEWS.COM, KUALA LUMPUR - Hilangnya pesawat Boeing 777-200ER dengan nomor penerbangan MH370 diakui memiliki dampak dramatis bagi maskapai Malaysia Airlines. Dampak paling nyata terlihat dalam laporan kinerja maskapai tersebut, yang dilaporkan pada Kamis (15/5/2014).
"(Hilangnya) MH370 memiliki dampak yang dramatis pada kinerja kuartal pertama yang secara tradisional sudah lemah," kata pernyataan maskapai itu, Kamis.
Kinerja kuartal pertama 2014 Malaysia Airlines mencatatkan rugi bersih 443 juta ringgit atau setara Rp 1,6 triliun.
Catatan kinerja per 31 Maret 2014 itu semakin mendorong perusahaan ini ke jurang kerugian yang lebih dalam, menambah tekanan lonjakan biaya bahan bakar dan operasional yang sudah mengantarkan kerugian dalam empat kuartal berturut-turut sebelumnya.
Pada 8 Maret 2014 dini hari, penerbangan MH370 milik Malaysia Airlines rute Kuala Lumpur-Beijing hilang kontak setelah sekitar satu jam terbang. Maskapai yang dikendalikan negara ini menyatakan bahwa perilaku konsumen dalam jangka waktu pendek langsung berubah, ditandai dengan tingginya pembatalan tiket dan susutnya pesanan tiket.
"Penjualan dari Tiongkok turun sekitar 60 persen pada Maret, setelah hilangnya pesawat," aku pernyataan Malaysia Airlines. Dua pertiga dari orang-orang yang ada di pesawat tersebut adalah warga negara Tiongkok.
Kerugian kuartal pertama 2014 ini merupakan yang kelima berturut-turut dialami Malaysia Airlines, dan menjadi yang terburuk setelah capaian kerugian bersih 1,28 miliar ringgit pada kuartal keempat 2011.
Momentum reformasi?
Para analis pun berpendapat bahwa prospek maskapai ini masih suram, terutama setelah hilangnya MH370. "Gambarannya tak baik. Saya percaya (aksi korporat) diperlukan," kata Mohshin Aziz, analis penerbangan yang bekerja pada Maybank Investment. Aksi korporat itu bisa berupa penjualan saham, divestasi aset, atau reformasi agresif lainnya.
"Insiden MH370 memberikan tantangan besar dalam lingkungan yang sudah penuh tantangan," imbuh Mohshin. Para analis menyalahkan manajemen yang buruk, tenaga kerja yang membengkak, serikat pekerja yang terlalu kuat, dan persaingan industri yang ketat sebagai masalah utama Malaysia Airlines.
Serikat pekerja di maskapai ini menentang keras aksi korporat yang mungkin dilakukan. Sementara itu, Chief Executive Malaysia Airlines Ahmad Jauhari mengatakan, perusahaannya harus mencari cara untuk mendongkrak pendapatan dan memastikan kelangsungan hidup pada masa depan yang berkelanjutan. Namun, dia tak memberikan rincian lebih lanjut.
Malaysia Airlines merupakan maskapai pelat merah dengan 69 persen sahamnya adalah milik Pemerintah Malaysia. Pada konferensi pers, Kamis, Menteri Pertahanan yang juga adalah Plt Menteri Transportasi Malaysia, Hishamuddin Hussein, menyatakan, pemerintah tak akan lagi memberikan bantuan keuangan lebih lanjut.
Analis penerbangan mengatakan, insiden MH370 bisa menjadi amunisi bagi pemerintahan Perdana Menteri Najib Razak untuk mendesak reformasi Malaysia Airlines. Meski demikian, beberapa analis lain menyikapi semua perkembangan ini dengan skeptis.
"Saya tidak berharap melihat perubahan apa pun. Kemauan politik untuk mengubah tidak ada. Saya yakin maskapai ini akan mencari alasan untuk menjelaskan mereka kalah," kata Shukor Yusof, analis penerbangan dari Endau Analytics yang berbasis di Malaysia.
"Orang-orang yang memiliki kendali atas Malaysia Airlines kehilangan ide-ide baru. Mereka terbukti tidak dapat melakukan pekerjaan itu," kata Shukor. Namun, reformasi hampir pasti bakal menjadi proses yang luar biasa menyakitkan juga. "Butuh kemauan politik dan dukungan dana."