News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Hukuman Mati

Kenapa Australia Tidak Marah Saat Amerika Serikat Terapkan Hukuman Mati?

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

PM Australia Tony Abbott dan Menlu Julie Bishop dalam jumpa pers di Canberra, beberapa jam setelah duo Bali Nine, Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi di Nusakambangan, Rabu (29/4/2015), dini hari.

TRIBUNNEWS.COM, CANBERRA - Dalam pernyataan kepada wartawan, Perdana Menteri Australia Tony Abbott menegaskan, hubungan antara Australia dan Indonesia tidak akan bisa sama lagi setelah Myuran Sukumaran dan Andrew Chan dieksekusi di Nusakambangan, Jawa Tengah, Rabu (29/4/2015).

"Australia menghormati sistem hukum Indonesia, kedaulatan Indonesia. Namun, kami mengecam keras eksekusi ini. Karena itu, hubungan dengan Indonesia tidak akan bisa sama lagi. Begitu proses yang terkait dengan Chan dan Sukumaran selesai, kami akan menarik duta besar kami untuk konsultasi," kata Abbott.

Sebelumnya, pejabat tinggi di Kementerian Luar Negeri Australia, Steven Ciobo, mengutuk pelaksanaan eksekusi hukuman mati di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Ciobo melalui akun Twitter-nya menyebut pelaksanaan eksekusi ini sebagai "penyalahgunaan kekuasaan".

Chan dan Sukumaran adalah pemimpin kelompok penyelundup heroin dari Australia yang berjumlah sembilan orang. Bersama-sama, mereka berupaya memasukkan 8,3 kilogram heroin melalui Bandara Ngurah Rai, Denpasar, Bali, pada 2006 lalu.

Namun, aksi mereka dapat dicegah aparat Indonesia berkat informasi dari kepolisian Australia. Mereka lalu dihadapkan ke pengadilan dan dijatuhi vonis hukuman mati.

Nasib Chan dan Sukumaran telah menarik simpati rakyat Australia dalam beberapa bulan terakhir. Sebagian besar menentang hukuman yang dijatuhkan pengadilan Indonesia kepada duo tersebut.

Bahkan, Pemerintah Australia menggunakan berbagai macam cara untuk membujuk Pemerintah Indonesia agar hukuman mati bisa diluputkan. Pada saat bersamaan, pemerintah Australia secara tegas menyuarakan sikap anti-hukuman mati.

Bukan sikap baru

Sikap itu bukanlah sesuatu yang baru. Pada 1993, Pemerintah Australia menentang tindakan Pemerintah Malaysia yang mengeksekusi dua penyelundup heroin bernama Michael McAuliffe dan Kevin Barlow. Sebelumnya, pada 1986, sikap itu juga diutarakan tatkala Malaysia mengeksekusi Brian Chambers.

Lalu, pada 2005, Pemerintah Australia juga menolak aksi Singapura yang mengeksekusi warga Australia bernama Van Tuong Nguyen pada 2005 ketika diketahui dia berupaya menyelundupkan heroin di tubuhnya.

Di Australia, alasan mengapa sebagian besar orang menolak hukuman mati karena hukuman tersebut dipandang tidak manusiawi. Ada pula anggapan negatif bahwa sistem hukum negara-negara yang mengeksekusi terpidana mati cenderung korup.

Anggapan itu mengemuka lagi ketika seorang pengacara di Bali, Muhammad Rifan, mengatakan kepada surat kabar the Sydney Morning Herald bahwa dia sepakat membayar majelis hakim sebesar 130.000 dollar Australia atau sekitar Rp 1,3 miliar agar Chan dan Sukumaran dijatuhi hukuman penjara kurang dari 20 tahun.

Rifan mengaku uang telah dibayarkan, tetapi majelis hakim mengatakan mereka telah diperintahkan pejabat senior pemerintah untuk menerapkan hukuman mati. Belakangan, salah seorang hakim menepis pengakuan Rifan. Menurut dia, mereka menjatuhkan putusan tanpa campur tangan politik atau negosiasi di bawah meja.

Standar ganda

Salah satu cara hukuman mati dilaksanakan di AS adalah dengan suntikan maut. Sejak 1976, AS sudah mengeksekusi 14.000 orang dengan berbagai cara dan kini masih terdapat 3.000 terpidana mati yang menunggu eksekusi. (Foto: BBC)

Masalahnya, Pemerintah Australia dan rakyat negara tersebut jarang terdengar peduli atau menentang hukuman mati bila hal itu terjadi di Amerika Serikat.

Pertanyaanya, kenapa Australia tidak marah atau mengecam AS ketika negara adidaya itu menerapkan hukuman mati?

Sekadar catatan, AS telah menembak, menggunakan kursi listrik, menggantung, dan menyuntik mati lebih dari 1.400 terpidana sejak 1976. Bahkan, saat ini, masih ada 3.000 narapidana lain yang menunggu hukuman mati di sana.

Pemerintah Australia juga tidak cukup menyuarakan ancaman pemutusan hubungan dagang dengan China yang diperkirakan mengeksekusi ribuan orang setiap tahun.

Kini, PM Tony Abbott menyatakan akan menarik duta besarnya dari Jakarta. Hubungan antara Australia dan Indonesia pun diperkirakan akan memanas dalam waktu dekat.

Namun, cepat atau lambat, menurut koresponden BBC Jon Donnison, hubungan kedua negara akan kembali normal. Sebab, Australia memerlukan Indonesia. Sebagian besar dana bantuan Australia mengalir ke ranah anti-terorisme dan memerangi arus imigran di Indonesia.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini