TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak berwenang Perancis meyakini tiga tim dari Negara Islam Suriah dan Irak (ISIS) melakukan serangan terkoordinasi di Paris, Perancis, yang terjadi pada Jumat (13/11/2015).
Jaksa kota Paris, François Molins, mengatakan para penyerang membawa senapan serbu dan rompi bom bunuh diri.
Mereka memulai serangan dengan meledakkan bom di luar gerbang stadion sepak bola di pinggiran utara Paris pada pukul 21.20 waktu setempat, di hari Jumat.
Pelaku meledakkan bom yang dibawanya.
Serangan berakhir pada pukul 00.20 setelah pihak berwenang menyerbu sebuah bangunan yang tengah menyelenggarakan penampilan band rock Bataclan.
Seorang pelaku tewas ditembak pihak berwenang dan dua lainnya meledakkan bom yang mereka bawa setelah mereka menembak mati 89 orang di dalam bangunan.
Seorang pelaku diduga melakukan perjalanan ke Eropa menggunakan paspor Suriah, bersama dengan ribuan imigran lainnya.
Menurut pejabat Pemerintah Yunani pelaku terdafatar sebagai imigran yang tiba di pulau Leros pada 3 Oktober 2015.
Pelaku berusia 25 tahun, dan tewas dalam serangan di stadion.
Penyerang lain, yang tewas ditembak pihak berwenang di gedung konser, adalah seorang seorang warga Perancis yang tinggal di Courcouronnes, sekitar 20 mil selatan Paris.
Molins mengatakan pria berusia 29 tahun tersebut memiliki catatan kriminal dan dikenal sebagai penganut ideologi Islam ekstrimis.
Pihak berwenang Perancis bergerak cepat mengembangkan kasus serangan teroris di Paris, salah satunya dengan bekerjasama dengan pihak berwenang negara Eropa lainnya.
Hasilnya, di hari Sabtu, kepolisian Belgia menangkap tiga orang, salah satunya terkait dengan kepemilikan mobil sewaan yang ditemukan di Paris.
Di Jerman, polisi tengah menyelidiki apakah orang yang mereka tangkap pekan lalu karena membawa senjata api di mobilnya terlibat dalam rencana serangan teroris di Paris.
Pihak berwenang Jerman mengatakan pihaknya menemukan GPS navigator milik pelaku menunjukan arah menuju Paris. [Sumber: Newyorktimes].