Laporan Koresponden Tribunnews.com, Richard Susilo dari Tokyo
TRIBUNNEWS.COM, TOKYO - LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, lembaga teknis di bawah MUI) memberikan klarifikasi tentang Restoran Solaria.
"Restoran Solaria adalah restoran yang telah mendapat sertifikat halal MUI. Semua perusahaan yang mendapatkan sertifikat halal adalah perusahaan yang telah memenuhi persyaratan sertifikasi halal MUI, termasuk restoran Solaria," ungkap Lukmanul Hakim, Direktur Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) Majelis Ulama Indonesia (MUI), kepada Tribunnews.com malam ini, Senin (30/11/2015).
Menurutnya, sebelum mendaftarkan ke MUI perusahaan tersebut harus terlebih dahulu membangun sistem secara internal yang bisa menjamin bahwa perusahaan tersebut menjaga konsistensi kehalalan selama berlaku sertifikat halal.
"Sistem ini yang disebut sistem jaminan halal. Untuk memastikan bahwa perusahaan telah menerapkan sistem jaminan halal sesuai dengan persyaratan sertifikasi halal MUI, maka auditor LPPOM MUI (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan, dan Kosmetika, lembaga teknis di bawah MUI) harus melakukan pemeriksaan audit ke perusahaan tersebut,"katanya.
Ada 11 kriteria Sistem Jaminan Halal yang harus dijalankan, termasuk membangun tim manajemen halal/tim auditor halal internal, memenuhi persyaratan bahan, produk, fasilitas produksi, dan menetapkan serta menjalankan prosedur kegiatan kritis kehalalan.
"Hanya perusahaan yang memenuhi persyaratan sistem jaminan halal minimum yang dapat lolos untuk maju ke tahap penilaian dari Komisi Fatwa MUI. Komisi Fatwa MUI sebagai perwakilan ulama yang akan memutuskan apakah produk yang didaftarkan tersebut adalah halal atau tidak berdasarkan hasil pemeriksaan LPPOM MUI."
Ketika perusahaan telah mendapatkan sertifikat halal MUI, maka kewajiban perusahaan seterusnya adalah untuk senantiasa menerapkan sistem jaminan halal tersebut.
Ketika perusahaan ingin mengganti bahan baru, atau bahan lama namun dengan pemasok yang berbeda, atau perubahan fasilitas produksi maka mereka mempunyai kewajiban untuk meminta izin penggunaan tersebut kepada LPPOM MUI sebelum diterapkan.
"Pada Restoran Solaria, ketentuan serupa juga berlaku. Setiap ada penggantian atau perubahan bahan maka mereka mempunyai kewajiban untuk mendapat persetujuan LPPOM MUI terlebih dahulu. Mereka mempunyai tim auditor halal internal yang bertanggungjawab untuk meminta izin tersebut kepada LPPOM MUI."
Dari sisi LPPOM MUI pun, mempunyai kewajiban untuk melakukan inspeksi mendadak ke fasilitas produksi Solaria, baik outlet, dapur, gudang pusat, dan lain-lain.
Dari dua jenis pengendalian ini baik dari internal Solaria maupun dari sisi LPPOM MUI, maka tidak ada temuan yang mengarah bahwa Solaria mengganti bahan tanpa seizin LPPOM MUI.
"Jadi ketika LPPOM MUI mendapatkan informasi dari media yang memberitakan bahwa dari hasil uji Tim Dinas Pertanian, Kelautan, dan Perikanan Balikpapan yang berdasarkan uji cepat (rapid test) bumbu (seasoning) Solaria positif terindikasi mengandung babi, maka kemudian LPPOM MUI melakukan uji banding," ujarnya.
Uji banding ini perlu dilakukan karena LPPOM MUI pun mempunyai metode uji cepat yg serupa.
Namun menurut SOP analisis laboratorium LPPOM MUI, penggunaan uji cepat hanyalah untuk mendapatkan kesimpulan awal.
Karena sebelum menetapkan uji cepat sebagai bagian dari prosedur sertifikasi halal, bidang riset dan development LPPOM MUI pun melakukan validasi metode.
Validasi metode perlu dilakukan karena tidak semua metode cocok untuk semua jenis bahan.
"Jika berdasarkan metode uji cepat, maka selama ini metode ini lebih sensitif untuk menguji cemaran daging babi mentah. Agak berbeda misalnya jika diterapkan untuk menguji cemaran babi pada bumbu (seasoning)," katanya.
Terkait dengan Solaria, LPPOM MUI pun melakukan pengambilan sampel baik yang berasal dari pusat, outlet Jabodetabek, dan Kalimantan Timur.
LPPOM MUI juga melakukan uji lanjutan untuk memastikan bahwa ada tidaknya cemaran babi pada bumbu Solaria dengan metode PCR.
"Secara prinsip ada perbedaan antara uji cepat dan uji dengan PCR. Uji cepat dilakukan untuk mendeteksi kandungan protein babi sementara uji PCR untuk mendeteksi DNA Babi. Kembali ke masalah validasi, LPPOM MUI mempunyai kajian bahwa dengan uji cepat ada kemungkinan didapatkan hasil positif padahal ketika diuji DNA dengan PCR hasilnya negatif ."
Menurutnya, itulah yang disebut dalam dunia laboratorium dengan kesalahan positif (false positive).
Misalnya dari uji sampel yang sama tetapi dibuat larutan sampel dengan konsentrasi yang berbeda, maka larutan sampel encer mendapatkan hasil negatif namun larutan sampel pekat mendapatkan hasil positif.
"Harusnya, kalau benar ada cemaran babi, baik dari larutan sampel encer maupun pekat, uji cepat akan tetap memberikan hasil positif. Oleh karena itu LPPOM MUI punya mekanisme, semua sampel yang terindikasi positif melalui uji cepat harus dilakukan uji lanjutan yakni dengan metode PCR. Ternyata hasil uji real time PCR yang dilakukan LPPOM MUI untuk semua sampel bumbu Solaria, ternyata hasilnya tidak terdeteksi DNA babi. Oleh karena itu, berdasarkan uji PCR ini maka status kehalalan restoran Solaria tetap sama dengan keputusan Komisi Fatwa sebelumnya, yaitu HALAL," katanya.