TRIBUNNEWS.COM - Minyak mungkin bukan sumber pendapatan terbesar bagi para ekstremis Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Namun, hal itu merupakan sesuatu yang paling menggoda.
Para makelar, masyarakat sipil, pemberontak, dan Pemerintah Suriah sulit mengatakan tidak untuk minyak murah yang dikirim ke pintu rumah, bahkan jika diproduksi oleh militan brutal yang sedang mereka perangi.
Perdagangan minyak membuat ISIS meraup antara 100 juta dollar AS dan 500 juta dollar AS per tahun. Penghasilan itu ditambah dengan uang yang dihasilkan ISIS dari "pajak" pemerasan dan pencurian.
"(Minyak) telah memberikan mereka kebebasan untuk bermanuver. Peluang lebih banyak untuk menarik orang dan mendanai operasi-operasi mereka," ujar Howard Shatz, ekonom senior pada Rand Corporation.
"Semakin banyak uang yang mereka miliki, semakin banyak serangan yang bisa mereka danai, dan mereka dapat menjalankan sesuatu yang tampak seperti sebuah negara," ujar Shatz.
Jadi, mengapa koalisi pimpinan AS gagal menghentikan perdagangan tersebut?
"Tidak mudah menanggulangi masalah tersebut," ujar Ben Bahney, juga dari Rand, kepada VOA.
"Gambarannya sulit didapat. Ada kesenjangan besar dalam cakupan."
Selain itu, ujar Bahney, setelah ISIS menjual minyak kepada makelar di sumur minyak, ratusan truk akan membawa minyak mentah ke kawan dan lawan, pasukan Pemerintah Suriah pimpinan Bashar al-Assad, wilayah Kurdi, kepada pemberontak yang didukung AS, ke Turki, kilang-kilang bergerak, dan untuk operasi internal.
Bukan prioritas
AS dan mitra-mitra koalisinya tidak dapat mengontrol penjualan dalam wilayah yang dikuasai ISIS dan untuk rezim Assad.
Hal itu berarti bahwa upaya bergantung pada berbagai kelompok yang bekerja sama dengan Washington di lapangan di Suriah dan Irak.
Selain itu, menghentikan penjualan minyak tidak selalu menjadi prioritas tertinggi, terutama jika tidak ada sumber-sumber energi alternatif.
"Ini masalah koordinasi lokal dengan mitra-mitra lokal dan regional yang memiliki prioritas mereka sendiri," ujar Bahney.