TRIBUNNEWS.COM, MOGADISHU - Tak hanya Pemerintah Brunei, Pemerintah Somalia pun belum lama ini mengumumkan larangan perayaan Natal di negaranya.
Diumumkan oleh Dirjen Kementerian Keagamaan pada Selasa (22/12/2015), larangan tersebut pun berlaku untuk perayaan tahun baru 2016.
Menurut sang dirjen, Sheikh Mohamed Kheyrow, perayaan Natal tak sesuai dengan budaya Islam.
"Semua kegiatan yang berhubungan dengan perayaan Natal dan Tahun Baru berlawanan dengan budaya Islam, dapat merusak kepercayaan komunitas muslim," demikian pernyataannya.
"Ini masalah keimanan. Libur Natal dan perayaannya tak ada hubungannya dengan Islam," katanya lagi, dikutip Reuters.
Mengikuti itu, kementerian bahkan telah memerintahkan kepolisian, badan intel, dan otoritas berwajib lainnya untuk mencegah adanya perayaan Natal.
Namun, sebenarnya ada lagi alasan lain mengapa perayaan Natal sebaiknya tak dilakukan di negara berpenduduk mayoritas muslim itu.
"Seluruh warga Somalia adalah muslim dan tidak ada komunitas Nasrani di sini," jelas juru bicara wali kota Mogadishu, Abdifatah Halane.
"Alasan lainnya adalah keamanan," tambah dia lagi, menjelaskan bahwa perayaan Natal dapat mengundang serangan dari kelompok militan Islam, seperti kelompok Al-Shabaab.
Pada 2014 lalu, kelompok itu memang pernah melakukan serangan atas perayaan Natal di bandara Mogadishu.
Sebelumnya, Somalia pernah mengajukan larangan perayaan Natal pada 2013.
Negara ini menjadi negara mayoritas muslim kedua yang melarang perayaan Natal, setelah Brunei. (The News International/Reuters)
Sultan Brunei Larang Perayaan Natal
Dikhawatirkan merusak akidah muslim, perayaan Natal akhirnya dilarang oleh Sultan Hassanal Bolkiah untuk dirayakan di ranah publik Brunei.
Larangan itu termasuk memasang dekorasi Natal dan menyanyikan lagu-lagu Natal.
Dalam sebuah pernyataan dari Kementerian Agama Brunei, dikatakan langkah tersebut diambil untuk mengendalikan perayaan Natal yang dilakukan di ranah publik.
"Hal itu dapat merusak akidah komunitas muslim," demikian isi pernyataannya, dikutip Telegraph.
Dikatakan The Independent, warga non-Muslim di negara berpenduduk 65 persen muslim itu tetap boleh merayakan Natal.
Namun, perayaan Natal hanya boleh dilakukan di lingkungan komunitasnya dan atas izin otoritas setempat.
Larangan ini diberlakukan di bawah UU baru, bagi yang melanggar akan dikenakan sanksi denda sebesar Rp 273 juta dan hukuman penjara lima tahun.
Larangan tersebut datang dari gagasan sejumlah imam setempat, yang mengatakan bahwa perayaan Natal dapat merusak akidah muslim.
"Selama perayaan Natal ini, muslim (Brunei) kerap ikut-ikutan," demikian kelompok imam itu mengatakan, dikutip Borneo Bulletin.
"Seperti menggunakan salib, menyalakan lilin, membuat pohon Natal, menyanyikan lagu-lagu Natal, mengucapkan salam Natal, memasang dekorasi Natal, dan melakukan apapun terkait kepercayaan yang merayakannya,"
"Padahal itu sangat berlawanan dengan kepercayaan muslim."
Sebelumnya, Brunei sudah pernah memberlakukan larangan perayaan Natal pada 2014 lalu, bertepatan saat negara itu memberlakukan metode hukuman rajam dan amputasi. (The Independent/Telegraph)