TRIBUNNEWS.COM - Salah satu senjata paling ditakuti dari Negara Islam Irak dan Suriah adalah para "pengantin" atau pengebom bunuh diri.
Banyak orang menduga, para pengebom bunuh diri itu bukan "siapa-siapa" dalam kehidupan mereka sehingga dengan rela memberikan nyawa untuk tujuan ISIS.
Namun, kenyataannya, banyak dari para pengebom bunuh diri itu adalah orang-orang profesional dengan karier sukses dan penghasilan besar.
Situs berita The New Arab yang melakukan investigasi berdasarkan 121 dokumen yang dibocorkan situs berita Suriah Zaman al-Wasl menyebut para "pengantin" berasal dari berbagai latar profesi.
Beberapa dari mereka berprofesi sebagai koki profesional, pemain sepak bola bahkan para ayah.
Unit bom bunuh diri ISIS ini diisi orang-orang dari 20 negara yaitu 32 orang dari Arab Saudi, 25 orang Tunisia, 18 orang Maroko, 12 warga Mesir, tujuh dari Suriah dan Libya, empat asal Spanyol, tiga dari Lebanon, dua dari Kuwait.
Serta satu orang masing-masing dari Turki, Italia, Perancis, Jerman, Uzbekistan, Afganistan, Sudan, Aljazair, Yordania, Palestina dan Yaman.
Sebagian besar dari mereka, yaitu 69 persen berusia di bawah 30 tahuh dan belum menikah.
Sedangkan 72 persen dari mereka disebut memiliki "pendidikan agama yang kurang" dan 74 persen menyelesaikan bangku SMA atau universitas.
Dari sisi pekerjaan, 13 pengebom bunuh diri asal Arab Saudi adalah para pekerja di perusahaan besar milik negara.
Salah satunya bekerja di hotel, satu lainnya bekerja di bandara dan dua orang lagi adalah perwira militer Arab Saudi.
Sedangkan satu orang Tunisia adalah pemain sepak bola profesional dan pelatih kebugaran.
Satu orang adalah jurnalis dan pakar desain grafis.
Selain itu beberapa dari mereka juga bekerja di bidang hukum, kedokteran dan pertanian. Bahkan ada yang berprofesi sebagai polisi, koki masakan Perancis dan penjual coklat.
"Mereka yang melakukan serangan 11 September dan serangan lain di seluruh dunia tak selalu berasal dari latar belakang penuh kemiskinan," ujar Mohammad al-Shinqiti, seorang profesor etika politik.
"Mereka datang dari berbagai latar belakang sosial dan kelas, sebagian besar adalah warga kelas menengah dan sebagian lainnya bahkan dari kalangan atas," tambah al-Shinqiti.