TRIBUNNEWS.COM, MANILA - Presiden Filipina Benigno Aquino akhirnya angkat suara soal warga negara Kanada, John Ridsdel (68) yang dipenggal oleh militan Abu Sayyaf.
Aquino bersumpah mencurahkan seluruh energi untuk melumpuhkan militan yang berbasis di Filipina selatan itu sebelum mengakhiri masa jabatan dalam dua bulan ini.
"Jadi, ASG (Grup Abu Sayyaf), dan siapapun yang membantu mereka, kalian memilih hanya bahasa kekerasan, dan kami akan berbicara kepada kalian juga hanya dengan bahasa itu," kata Aquino dalam sebuah pernyataan, Rabu (27/4/2016).
Abu Sayyaf memenggal kepala John Ridsdel setelah pemerintah Kanada menolak menyerahkan uang tebusan. Kepala Ridsdel ditemukan di Pulau Jolo, Filipina selatan, Senin (25/4/2016) lalu.
Ridsdel adalah seorang mantan eksekutif pertambangan. Ia diculik bersama tiga orang lainnya pada 2015 ketika mereka sedang berlibur di di sebuah pulau di Filipina selatan.
"Mungkin akan jatuh korban. Namun hal yang sangat penting adalah menetralkan aktivitas kriminal ASG," kata Presiden Filipina itu.
Setelah menemukan kepala Ridsdel, Juru bicara militer Filipina Mayor Filemon Tan mengatakan warga menemukan mayat tanpa kepala di sungai kering, dekat hutan tempat kepala Ridsdel ditemukan.
"Kami masih memverifikasi jika mayat itu adalah John Ridsdel," kata Tan.
Selain menyandera warga Kanada, kelompok militan Abu Sayyaf juga menyandera warga negara Indonesia.
Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menyatakan, pasukan TNI belum berencana masuk wilayah Filipina untuk operasi pembebasan ABK yang disandera Abu Sayyaf.
Pasukan TNI sejauh ini masih menahan diri karena menghormati undang-undang Filipina yang tidak membolehkan pasukan asing masuk dalam operasi militer dalam negeri mereka.
Mabes TNI tetap mendorong upaya diplomasi yang sedang dilakukan pemerintah serta menghimpun informasi intelijen.
"Pemerintah terus melakukan upaya. Mari kita tunggu saja," kata Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo usai membuka acara Latsitarda Nusantara 2016 di Stadion Depati Amir Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, Rabu (27/4/2016).
Menurut Gatot, TNI tetap berpedoman pada arahan presiden untuk tidak bernegosiasi soal pembayaran, namun tetap bersiap dengan operasi penyelamatan ABK yang disandera.
Saat ini ribuan pasukan TNI berada di daerah perbatasan Kalimantan - Filipina untuk penetrasi militer jika sewaktu-waktu dibutuhkan.
Sebagaimana diketahui, jumlah ABK yang disandera milisi Abu Sayyaf bertambah dari 10 orang menjadi 14 orang. ABK disandera saat kapal mereka melintasi wilayah laut Filipina.
Terpisah, Kepala Badan Intelejen Negara (BIN) Sutiyoso mengaku, belum mendapat informasi tentang WNI yang diculik di area perairan perbatasan Filipina-Malaysia, Jumat 15 April 2016 lalu.
"Yang empat orang itu kami belum tahu," ujar Sutiyoso.
Sutiyoso mengatakan, kelompok penyandera hingga saat ini belum membuka komunikasi dengan perusahaan pemilik kapal, tempat keempat WNI itu bekerja.
Sutiyoso memprediksi posisi keempat WNI itu tidak dijadikan satu dengan sepuluh WNI yang disandera kelompok Abu Sayyaf sebelumnya. Sebab, sepuluh WNI itu aktif berkomunikasi dengan perusahaannya.
"Karena kalau mereka jadi satu grup dengan yang 10, kami pasti tahu. Atau bisa juga empat ini berada di lokasi sama, tapi dipisah. Intinya kami belum berhasil berkomunikasi," ujar dia.
Hingga kini, pemerintah pun masih menunggu pihak penyandera membuka komunikasinya.
Keempat WNI yang diculik itu adalah ABK dari dua kapal berbendera Indoonesia, yakni Kapal Tunda TB Henry dan Kapal Tongkang Cristi. Total, ada 10 ABK di kedua kapal.
Namun saat peristiwa pembajakan terjadi, hanya empat WNI yang diculik.
Peristiwa ini menambah panjang deretan WNI yang disandera. Sebab, sejak 26 Maret 2016, 10 awak kapal pandu Brahma 12 beserta muatan batubara milik perusahaan tambang dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan, disandera kelompok teroris Abu Sayyaf.
Para awak kapal dan seluruh muatan batubara dibawa penyandera ke tempat persembunyian mereka di salah satu pulau di sekitar Kepulauan Sulu.
Tak hanya itu, Abu Sayyaf meminta tebusan 50 juta peso (sekitar Rp 14,3 miliar) untuk pembebasan 10 sandera.
Hingga kini, upaya pembebasan sandera belum membuahkan hasil. (tribunnews/uth/kps)