News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Mantan Bankir Kelahiran Indonesia Bahagia Jualan Sate di Swiss

Editor: Johnson Simanjuntak
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Rio Vanory saat beraksi membakar sate ayam di depan sebuah restoran makanan Asia di Zurich, Swiss.

TRIBUNNEWS.COM, ZURICH - Ada pemandangan tidak biasa di Hallwylerstrasse, Zurich, pekan silam.

Di depan restoran Asia Tisch, tampak gerobak beroda tiga dikerumuni banyak orang.

Asap yang mengepul tidak dipedulikan warga yang sebagian mengenakan jas dan dasi itu. 

Angin dingin yang berembus dari danau Zurich  juga tidak menyurutkan semangat orang-orang yang berkerumun itu.

Usut punya usut, memang ada yang istimewa di depan restoran yang khusus menyajikan  bakso, rendang dan soto ayam itu.

Sebuah gerobak yang masih kinclong  menjadi etalase proses pembakaran sate ayam.

Sate ayam? ya sate ayam sedang dipamerkan dalam gerobak di salah satu kota termahal dunia itu.

Inilah satu-satunya gerobak sate ayam di Zurich, bahkan Swiss.

Semua keunikan itu tak lepas dari sosok Rio Vamory.

Mantan bankir inilah yang melakukan terobosan kuliner Indonesia di Zurich yang berjuluk "Little Big City of Switzerland".

"Kebanyakan sate ayam di jual di dalam restoran atau gedung. Saya mencobanya menjualnya seperti di Indonesia,“ kata Rio.

Artinya, jika musim dingin tiba, Rio tidak bisa menjual dagangannya di luar ruangan.

"Belum begitu terpikirkan. Ini kan masih perintisan, mulai Mei ini saya berjualan pertama kali di Zurich,“ katanya.

Rio meminjam beranda restoran Asia Tisch untuk demonstrasi pembakaran satenya.

Nantinya, dia akan berjualan sendiri di sebuah taman di Zurich, dengan gerobak sate beroda tiga itu.

Apa yang dilakukan Rio ini terlihat seperti sebuah kenekadan, tapi mantan bankir itu enggan disebut demikian.

"Kalau nekad ya tidak, saya sudah merencanakan sejak lama, prosesnya bertahun-tahun,“ tuturnya.

Rencana berjualan sate itu dimulai sudah dalam angannya bertahun-tahun lalu, ketika Rio masih bekerja di sebuah bank papan atas di Zurich.

"Saya tidak bahagia bekerja di bank,“ akunya.

Akibat tak bahagia bekerja di bank, maka cita-citanya menjual sate ayam, terus mengganggu hatinya.

Maka, setahun lalu Rio memutuskan berhenti dari pekerjaan yang mengharuskan dia mengenakan jas dan dasi itu.

Rambutnya yang dulunya disisir rapi, kini dibiarkan agak tergerai, tak dicukur selama setengah tahun terakhir.

Celemek, kaos,  dan celana jins kini menjadi seragamnya saat mengipasi sate ayam itu.

Sesekali tampak dia khawatir dengan pemanggangan satenya.

"Agak gugup iya, ini kan percobaan,“ katanya.

Rio melakukan percobaan membakar sate selain ingin menjajal gerobak dan peralatannya, dia juga ingin mengundang masyarakat Swiss yang membantu mendanai proyek sate ayamnya.

Semua ini dilakukan karena Rio melakukan crowd funding sebelumnya.

Sebuah video diunggahnya di internet yang menjelaskan proyek tersebut, sekaligus mengharapkan masyarakat mendanainya.

"Tak hanya itu, crowd funding ini juga tes pasar, apakah ada yang berminat atau tidak,“ ujarnya.

Syukurlah, target modal sebesar 12.000 frank Swiss atau sekitar Rp 150 juta,  tercapai melalui cara itu.

"Saya gunakan untuk beli gerobak dan keperluan lainnya,“ katanya.

Di Swiss, siapa yang berani terjun di bisnis gastronomi, harus siap bekerja keras.

Harga makanan di restoran Swiss yang sangat mahal, membuat persaingan untuk menyajikan kualitas makanan terbaik, menjadi kewajiban.

Rio tampaknya sadar dengan kenyataan ini. Sebelum mencoba sate ayam dengan gerobaknya ini, dia sudah "menjual“ satenya dari pintu ke pintu.

Ditinggal ayah sejak kecil

Salah satu yang tertarik dengan kisah hidup Rio adalah harian Neuer Zurcher Zeitung (NZZ),  koran paling prestisius di Swiss.

NZZ kemudian memberi satu halaman penuh untuk membahas aksi Rio itu karena terbilang unik.

"Ini memang khas, jadi kami tertarik menulisnya,“ kata salah satu redakturnya. 

Selain mengisahkan proses beralihnya bankir menjadi tukang sate, Rio juga mengisahkan perjalanan hidupnya.

Sate Rio, menurut NZZ, cukup menjanjikan. "Kalau pun ada yang perlu diperbaiki ya acar ketimunnya,“ demikian ulasan NZZ.

Rio lahir 34 tahun silam, di Balingkah, Padang Panjang, Sumatera Barat.

Tak lama setelah kelahirannya, Rosmidar, ibu kandungnya, harus menerima kenyataan ditinggal sang suami.

Perjalanan berikutnya, Rosmidar meninggalkan Indonesia dan menikahi warga Swiss keturunan Tibet.

Saat itu, Rio dititipkan di Bogor untuk menekuni agama di sebuah pesantren.

Rosmidar seharusnya berbahagia,  menetap dan menikah lagi di salah satu kota paling mahal dunia itu.

Namun, kebahagiaan itu tak lengkap jika masih harus berpisah dengan putranya itu.

Setelah dua tahun menetap di Swiss, Rio diboyongnya ke Zurich.

Prestasi Rio saat bersekolah di Zurich cukup menonjol bahkan dia beberapa kali  "loncat“ kelas karena kecerdasannya.

Kariernya juga moncer, dengan bekerja dari satu bank besar ke bank besar lainnya.

Namun, meskipun bergaji besar dan hidup mapan, Rio tak merasa tenteram.

Rio pun akhirnya memilih meninggalkan karier banknya yang cemerlang, dan memilih menjadi tukang sate ayam di jalanan Zurich.

"Apa yang dilakukan Rio luar biasa. Tak banyak, hampir tak ada bankir yang mau berubah profesi jadi tukang sate ayam, keberanian itu ada dalam diri Rio," kata redaktur NZZ.

Rosmidar, ibu kandungnya, sangat mendukung langkah "aneh“ Rio ini.

"Sebagai orangtua, saya mendukungnya. Lagi pula, dia sejak kecil suka masak,“ katanya.

Selain mencoba menjadi pengusaha, Rio juga berniat membantu tanah kelahirannya di Sumatera, Indonesia.

Caranya, Rio menyisihkan satu frank Swiss dari setiap porsi sate yang dijualnya untuk membantu pelestarian alam Sumatera.

Meskipun kini terlihat lebih berbudaya Swiss ketimbang Indonesia, Rio agaknya masih terus mengingat tanah kelahirannya.

"Lupa tentu tidak, saya juga punya saudara di sana,“ katanya.

Puluhan tahun silam, Rio bahkan bertemu dengan saudara tirinya di Sumatera.

Dia juga sempat mencoba mencari ayah kandungnya dan ditemukannya di Jakarta.

"Rasanya lega ketemu bapak saya. Tapi setelah itu ya sudah, tak banyak kontak lagi dengan bapak saya,“ katanya. 

Namun dengan saudara tirinya di Sumatera, Rio masih tetap berkomunikasi hingga sekarang.

"Dengan bapak saya tidak lagi, dengan saudara tiri, iya, masih komunikasi,“ katanya. (Krisna Diantha)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini