Laporan Wartawan Tribunnews.com, Srihandriatmo Malau
TRIBUNNEWS.COM, MARAWI-- Di akunnya di Facebook pimpinan Kelompok teror Maute, Omarkhayam Romato Maute menggambarkan dirinya sebagai "bom waktu berjalan".
Apalagi kini sekelompok militan yang terafiliasi dengan ISIS dibawah pimpinan Omarkhayam dan saudaranya membuat kejutan ingin menduduki sebuah kota di Filipina Selatan pada tanggal 23 Mei. Saat itu gang-gang diisi dengan panji-panji hitam ISIS.
Pemerintah di seluruh Asia Tenggara pun terbangun dari tidur untuk menguatkan diri mengantisipasi dan menghadapi masuknya ISIS ke negara mereka untuk membangun 'Khilafah' di Asia Tenggara dan menjadi ancaman mengerikan untuk wilayah ASEAN.
"Ini adalah masalah yang di tengah-tengah kita," ujar Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong kepada radio Australia pada Sabtu (10/6/2017) ketika pertempuran pecah di Marawi mendekati akhir minggu ketiga, dengan angka kematian hampir 200 orang.
"Ini adalah jelas nyata dan membahayakan."
Omarkhayam dan Abdullah Maute dibesarkan dengan beberapa saudara dan saudarinya di Kota Marawi, sebuah kota mayoritas Muslim di negara dimana lebih dari 90 persen adalah Kristen.
Marawi, secara historis, merupakan pusat Islam di Mindanao, sebuah pulau yang luas dimana konflik dengan pemerintah telah menjadi tradisi sejak era kolonialisme Spanyol.
Sebagai remaja pada 1990-an, kakak beradik--piminan Maute tampak seperti orang-orang muda biasa, kata tetangga yang adalah juga keluarga Maute.
"Mereka belajar bahasa Inggris dan Qur'an, dan bermain basket di jalan-jalan."
"Kami masih bertanya-tanya mengapa mereka jatuh bergabung dengan ISIS," kata tetangga, yang dulunya seorang militan dan menyerahkan dirinya kepada pemerintah.
"Mereka adalah orang-orang baik, tekun beragama. Ketika seseorang mampu menghafal Al-Quran, tidak mungkin bagi mereka untuk melakukan yang salah. Tetapi inilah yang terjadi kepada kakak beradik Maute."
Di awal 2000-an, Omarkhayam dan Abdullah belajar di Mesir dan Yordania, masing-masing mereka menjadi fasih berbahasa Arab.
Omarkhayam menuntut ilmu ke Universitas Al-Azhar di Kairo, di mana ia bertemu dengan putri dari ulama konservatif Islam Indonesia.
Setelah mereka menikah, pasangan ini kembali ke Indonesia. Di sana, Omarkhayam mengajar di sekolah mertuanya dan tahun 2011 ia menetap di Mindanao.
Mungkin kemudian dan bukan ketika ia berada di Timur Tengah, Omarkhayam berbalik menjadi radikal.
Di Kairo "tak satu pun dari sesama murid-murid melihatnya memiliki kecenderungan radikal apapun sama sekali. Foto-foto pun menunjukkan seorang pemuda yang terpesona oleh putrinya yang masih bayi dan bermain dengan keluarga di laut merah," demikian dituliskan pakai anti-terorisme Sidney Jones dalam sebuah laporan di tahun 2016.
Sedikit yang diketahui tentang kehidupan Abdullah setelah ia pergi ke Yordania. Dan masih tidak jelas ketika ia kembali ke Lanao del Sur, Provinsi Mindanao yang termasuk Marawi.
Sumber-sumber intelijen mengatakan ada tujuh bersaudara dan satu saudara tiri dalam keluarga Maute.
Juru bicara militer Letnan Kolonel Jo-Ar Herrera mengatakan klan 'Maranao', yang termasuk di dalamnya keluarga Maute, memiliki tradisi matriarki--ibu mereka memainkan peran sentral.
Dia mengatakan Farhana Maute, yang menurut tetangga memiliki bisnis furnitur dan mobil bekas, membantu keuangan kelompok Maute. Sehingga bisa terus bertahan dan melakukan perekrutan dan menyalurkan radikalisasi kepada para pemuda setempat.(Channel News Asia)