News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Pengakuan Perempuan Rohingya Diperkosa Ramai-ramai oleh Militer Myanmar

Editor: Hasanudin Aco
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pengungsi Rohingya.

TRIBUNNEWS.COM, MYAMNAR - Saat wartawan asing melewati sebuah jembatan bambu, seorang wanita muda Rohingya berpakaian hitam, berpayung hitam, mengangkat tangannya dengan ragu-ragu.

Sikapnya menunjukkan dia berada dalam ketakutan.

Namun gadis itu tampaknya ingin mengatakan sesuatu kepada rombongan wartawan asing.

Sebuah laporan mengatakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) secara sistematis terhadap warga Muslim Rohingya di Rakhine, Myanmar, termasuk dalam kategori genosida.

"Rakhinese datang dan mengarahkan senapan ke dahiku. Mereka memegang tanganku dengan kuat dan melakukan apa yang mereka inginkan dariku," kata wanita muda itu.

"Kemudian saya disuruh kembali, Tapi tidak saya lakukan. Saya duduk di sana, lalu mereka mulai memukul dan mereka melepaskan pakaian saya," kata remaja tersebut.

"Mereka memukuli saya terlalu banyak dan melakukan apa yang mereka inginkan. Militer (Myanmar) melakukan semua ini," ucapnya.

Perempuan itu baru berusia 18 tahun.

Pemerintah Myanmar mengorganisir kunjungan wartawan asing ke negara bagian Rakhine utara, di sebelah barat Myanmar.

Wilayah tersebut telah terlarang sejak militan menyerang beberapa pos polisi pada bulan Oktober, menewaskan sembilan petugas dan mencuri puluhan senjata.

Hal itu memicu pembalasan dari pasukan keamanan terhadap Muslim Rohingya sampai Perserikatan Bangsa-Bangsa menyebutnya sebagai "kemungkinan pembersihan etnis" Rohingya.

Beberapa dari 70

Ribuan penduduk yang melarikan diri ke negara tetangga Bangladesh menceritakan kekejaman tentara Myanmar.

Wartawan lalu mewawancarai perempuan yang lain.

"Mereka datang ke desa ini dan membakar ayah saya (hidup-hidup) di dalam rumah dan memenjarakan ibu saya (ketika dia mengajukan keluhan)," kata seorang wanita, yang tidak disebutkan namanya.

Berbicara sangatlah beresiko

Dua kunjungan yang diatur pemerintah untuk wartawan lokal sebelumnya telah mengunjungi negara bagian Rakhine utara.

Setelah setiap perjalanan tersebut, seseorang yang berbicara dengan pers diketahui terbunuh oleh penyerang yang tidak dikenal.

Kebanyakan orang Myanmar memandang warga Rohingya sebagai imigran gelap dari Bangladesh.

Situasi pengungsi Rohingya di Myanmar, kelompok minoritas Muslim yang dianggap tidak memiliki kewarganegaraan di tanah air mereka dan ditahan di negara-negara transit, sangatlah suram.

Sebagian besar orang Myanmar menganggap Rohingya sebagai imigran gelap dari negara tetangga Bangladesh, menyebut mereka "orang Bengali" atau lebih buruk lagi, "kalas".

Banyak yang telah hidup di Myanmar selama beberapa generasi, namun mereka berada di bawah semacam apartheid - dilarang meninggalkan desa tanpa izin, mendapatkan pekerjaan formal atau kuliah di universitas.

Dengan latar belakang ini, muncul sebuah pemberontakan baru yang menyebut dirinya Harakah al-Yaqin atau Faith Movement.

Diperkirakan gerakan ini akan dipimpin dan didanai dari Arab Saudi.

Tentara dan polisi perbatasan Myanmar menolak tuduhan pelanggaran HAM.

Brigadir Jenderal Polisi Thura San Lwin mengatakan bahwa orang Rohingya saling membunuh dan saling membakar rumah mereka sendiri.

Menteri Utama Negara Bagian Rakhine, U Nyi Bu, menolak tuduhan dari Perdana Menteri Malaysia bahwa Myanmar melakukan genosida.

"Ini bukan genosida Yang kami lakukan hanya menyebabkan luka ringan," katanya.

"Jika orang menganggap ini masalah besar, mereka salah," tambah U Nyi Bu.

Pada tahun 2012, bentrokan menyebabkan ribuan orang Rohingya melarikan diri dari ibukota negara bagian Sittwe dan mencari tempat berlindung dalam kamp sementara.

Lima tahun kemudian, mereka masih bergantung pada bantuan pangan.

Namun kekurangan gizi menjadi pemandangan umum ditambah dengan kurangnya layanan medis.

Tidak ada jawaban yang mudah, dan kedua belah pihak berkutat dalam ketidakpercayaan dan prasangka.

Setelah pemilu bersejarah pada tahun 2015, pemenang Nobel Aung San Suu Kyi menjadi pemimpin de facto negara tersebut.

Namun dia tidak memiliki kendali atas pasukan keamanan, yang terus bertindak menurut kemauan mereka sendiri.

Suu Kyi dikritik karena tidak berbicara untuk hak-hak orang Rohinghya.

Jika melakukan hal itu, Suu Kyi berrisiko menjauhkan konstituen utamanya, sekelompok etnis berbeda yang hanya bersatu karena ketidaksukaan mereka terhadap orang Bengali.

Suu Kyi telah mencoba membuka ruang dialog, meminta agar istilah emosional Bangali dan Rohingya dihindari, dan menggunakan "Muslim" sebagai gantinya sebuah komisi khusus yang dipimpin mantan Sekjen PBB Kofi Annan telah membuat rekomendasi sementara, termasuk seruan untuk akses tanpa hambatan bagi pekerja bantuan dan media.

Sebuah resolusi PBB untuk meluncurkan misi pencarian fakta ke Negara Bagian Rakhine telah diblokir oleh Pemerintah Myanmar, dengan mengatakan bahwa hal itu akan menjadi langkah provokatif.

Dengan akhir yang belum kelihatan, pembunuhan rahasia dan penyangkalan masih akan terus berlanjut, menjadikan risiko pemberontakan menjadi lebih kuat.

PBB menyalurkan bantuan di tengah kekhawatiran terjadinya genosida.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini