TRIBUNNEWS.COM, FILIPINA - Perang di Marawi, Filipina selatan, kemungkinan akan berdampak jangka panjang terhadap ekstremisme di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Kemampuan para petempur prokelompok yang menamakan diri Negara Islam atau ISIS menduduki kota itu dan menahan gerak maju pasukan keamanan Filipina selama sekitar dua bulan, sudah menjadi inspirasi di kawasan lain, seperti diungkap oleh Institut Kebijakan Analisis Konflik, IPAC.
Akhir Mei lalu, kelompok militan Islam yang mengibarkan bendera ISIS itu berhasil menguasai Marawi dan hingga saat ini masih menguasai beberapa kawasan pinggiran kota.
Perang di sana diperkirakan sudah menewaskan lebih dari 500 jiwa, termasuk warga sipil.
Baca: Filipina Perpanjang masa Darurat Militer di Marawi
Hari Kamis (20/07), Presiden Rodrigo Duterte melakukan kunjungan mendadak ke markas militer di kota tersebut dengan menggunakan helikopter untuk memberi dukungan kepada tentara yang sudah berjuang selama dua bulan belakangan.
Dalam laporan yang diterbitkan Jumat (21/07), IPAC menyebutkan perang di Marawi sudah mendorong peningkatan serangan di kota-kota Asia Tenggara, lebih terkordinasinya strategi wilayah di kalangan kelompok ekstrem, dan menguatnya kapasistas sel-sel ISIS di Indonesia dan Malaysia.
"Risikonya tidak berakhir ketika militer menyatakan kemenangan," jelas Sidney Jones, Direktur IPAC.
"Indonesia dan Malaysia akan menghadapi ancaman dalam bentuk kembalinya para petempur dari Mindanao, dan Filipina akan menjadi rumah bagi sel-sel yang tersebar lebih kecil dengan kemampuan untuk kekerasan dan indoktrinasi."
IPAC mengaku memiliki bukti-bukti tentang jalur komando antara Suriah dan Marawi, dengan peran penting Dr Mahmud Ahmad asal Malaysia.
Jaringan di Indonesia
Semua petempur yang ingin bergabung dengan Kawasan Asia Timur -begitulah struktur komando di Marawi merujuk pada dirinya sendiri- harus lewat Dr Mahmud, yang juga mengatur pendanaan ISIS untuk operasi di Marawi dengan penyucian uang di Indonesia, melalui Jamaah Ansharud Daulah (JAD).
Bulan Januari 2017, misalnya, Dr Mahmud -menurut laporan IPAC- menghubungi Achmad Supriyanto alias Damar, seorang anggota JAD di Banten, yang pernah menjalani pelatihan singkat di Pulau Basilan, Mindanao, akhir Mei 2016.
Dr Mahmud mengatakan dia memerlukan Damar untuk menerima dana dari Suriah ke Filipina dan memberikannya akun di Telegram untuk dikontak.
Bulan Maret, dia memberi tahu Damar bahwa US$20.000 atau sekitar Rp266 juta sudah tiba di Indonesia dan meminta dia menghubungi orang JAD di Suriah, Munawar, yang kemudian memberi instruksi kepada Damar lewat komunikasi internet Telegram untuk mengambil dari seseorang di Bekasi.
Setelah itu, masih menurut laporan IPAC, Damar mengirim uang itu ke kontak di Fiipina. Setelah Damar ditangkap tahun 2017, anggota JAD lainnya, Rohmat Septriyanto asal Tegal, yang bertugas sampai dia ditangkap pada akhir Mei.
Laporan terbaru IPAC ini juga mengkaji bagaimana dua jaringan ISIS di Indonesia terlibat di Mindanao dan akhirnya ditekan untuk berpartisipasi dengan mengirimkan sekitar 20 petempur ke medan perang Marawi.