TRIBUNNEWS.COM - Korea Utara selama ini dipercaya memiliki pasukan hacker untuk melancarkan aneka serangan cyber terhadap musuh-musuhnya di dunia maya.
Baca: Anies Baru Dilantik Tanggal 16, Ada Kekosongan Jabatan Gubernur DKI 1 Hari
Belakangan diketahui bahwa para peretas negeri itu pernah berhasil membobol dan membawa kabur rencana perang yang disusun bersama oleh dua seterunya, yakni Amerika Serikat dan Korea Selatan.
Dalam peretasan yang terjadi tahun lalu tersebut, hacker Korut diduga mencuri sejumlah besar data, termasuk rencana untuk “memenggal” pemerintahan Korut dengan cara membunuh diktator Kim Jong-un dan para pemimpin senior.
Selain itu ada juga rencana pertahanan Korea Selatan dalam kasus agresi oleh Korut, juga informasi tentang pembangkit listrik dan basis-basis militer di Korea Selatan, sebagaimana dirangkum KompasTeknodari BBC, Rabu (11/10/2017).
Total data rencana perang yang dicuri berukuran sebesar 235 GB dari Defence Integrated Data Centre Korea Selatan.
Lee Cheol-hee dari Partai Demokrasi Korea Selatan mengatakan 80 persen dari data yang dicuri itu belum berhasil diidentifikasi.
Persisnya, tindak peretasan oleh hacker Korut terjadi pada September 2016.
Pada Mei tahun ini, Korea Selatan mengatakan sejumlah besar data dicuri oleh hacker Korut, tapi ketika itu belum memberikan informasi spesifik tentang apa yang dicuri.
Baru belakangan saja terungkap bahwa yang dibawa kabur hacker Korut ternyata adalah rencana perang AS dan Korea Selatan.
Kementerian pertahanan Korea Selatan menolak berkomentar mengenai tindak peretasan oleh hacker Korut.
Korea Utara sendiri menampik tuduhan bahwa pihaknya yang bertanggung jawab, bahkan balik menuduh bahwa Korea Selatan lah yang membuat-buat tudingan palsu.
Hacker Korut diduga banyak beraksi di kancah internasional. Pada 2014 misalnya, mereka ditengarai meretas server Sony Pictures setelah tersinggung karena Kim Jong-un diolok-olok dalam film parodi.
Lalu, beberapa waktu lalu, hacker Korut juga dituduh mencuri Bitcoin dari bursa Korea Selatan untuk mencari dana setelah ekonomi negerinya dicekik oleh sanksi internasional PBB.