TRIBUNNEWS.COM, FILIPINA - Kepala Kepolisian Provinsi Lanao del Sur, John Guyguyon, mengatakan aparat keamanan Filipina menangkap seorang pria warga negara Indonesia di wilayah konflik Marawi ketika berusaha melarikan diri melewati danau, Rabu (01/11).
WNI itu diindentifikasi berusia antara 22 hingga 23 tahun dan dilaporkan bernama Muhammad Ilham Shaputra, yang mengaku berasal dari Medan, Sumatra Utara.
"Ia adalah bagian dari pengepungan dan pertempuran awal di Piagapo," kata John Guyguyon yang wilayah kerjanya meliputi Marawi, sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Uang rupiah
Ia merujuk pada operasi militer di Piagapo yang dilancarkan April lalu terhadap kelompok militan setempat yang setia kepada ISIS, kelompok yang menyebut diri Negara Islam. Piagapo terletak sekitar 45 menit dari kota Marawi.
Baca: Dapat Serangan Teroris, Polisi Belum Pastikan Kehadiran Pelarian ISIS dari Marawi di Bima
Ditambahkannya seorang warga negara Indonesia itu akan dikenai dakwaan terorisme dan pemberontakan berdasarkan hukum di Filipina.
"Kami menyiapkan laporan penyelidikan sehingga kami dapat mengajukan dakwaan pemberontakan, terorisme dan lain-lainnya," tegas Guyguyon, kepada kantor berita Reuters.
Menurut Guyguyon, WNI yang ditangkap di Marawi ini masuk ke Filipina tahun lalu atas undangan Isnilon Hapilon, sosok yang diyakini menjadi pemimpin ISIS untuk Asia Tenggara.
Hapilon sendiri tewas pertengahan Oktober lalu dalam pertempuran melawan pasukan pemerintah untuk merebut kembali sepenuhnya kota Marawi, yang sempat dikuasai para militan Islam.
Selain menangkap seorang WNI, pihak berwenang Filipina juga mengamankan telepon genggam, satu senapan, granat dan sejumlah uang dalam bentuk rupiah, peso dan riyal dari tasnya.
Pekan lalu militer negara itu menyatakan perang di Marawi sudah berakhir namun demikian mengakui mungkin masih ada sisa-sisa perlawanan.
Ratusan orang-orang bersenjata setempat dan dari luar negeri, termasuk dari Indonesia, yang menyatakan kesetiaan kepada ISIS, membangun kekuatan dan merebut Marawi pada tanggal 23 Mei lalu.
Mereka berhasil menguasai sebagian wilayah kota dengan menggunakan warga sipil sebagai tameng.
Militer Filipina kemudian melancarkan operasi darat dengan dukungan serangan udara Australia dan Amerika Serikat.
Perang di kota itu berlangsung selama lima bulan terakhir dan menewaskan lebih dari 1.000 orang.