TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Analis politik Timur Tengah, M Syauqillah berpendapat tidak banyak yang dapat dilakukan oleh negara-negara OKI dan Liga Arab merespon serangan atas Suriah.
Kesamaan sikap OKI atas isu Palestina pada awal tahun 2018, tidak berlaku dalam konteks respon serangan Suriah saat ini.
"Konflik Suriah bagaimanapun telah melahirkan friksi politik di kawasan Timur Tengah saat ini," kata Syauqillah dalam keterangannya di Jakarta, Minggu (22/4/2018).
Syauqillah mengatakan dukungan atas Bashar Assad sebagai contohnya, datang dari Iran dan Hizbullah Lebanon.
Qatar dan Oman secara tegas mendukung serangan, Mesir memilih untuk bersikap memberikan perhatian khususnya terhadap dampak serangan terhadap warga sipil.
Baca: Kronologis Tenggelamnya Speedboat Rombongan Polres Labuhanbatu hingga Hilangnya Kompol Andi Chandra
Sementara, Aljazair mengingatkan bahwa serangan akan berdampak negatif bagi krisis Suriah.
Dan Irak menegaskan bahwa serangan hanya akan memberikan peluang bagi kelompok teroris kembali ke Suriah.
"Turki memegang mandat kepemimpinan OKI tahun ini, pasca memprakarsai pertemuan Istanbul merespon deklarasi Trumph atas Jerusalem.
Turki juga melakukan dialog bersama Iran dan Rusia untuk solusi Suriah.
"Pertemuan, Astana, Sochi dan Ankara telah digelar," ujarnya.
Dalam forum tersebut, salah satu opsi yang mengemuka adalah soal keterlibatan AS pada penyelesaian masalah di Suriah.
Baca: Pencarian Kompol Andi Chandra Dilanjutkan Pagi Ini
Namun setelah serangan Amerika dan sekutunya, Kementerian Luar Negeri Turki mengeluarkan pernyataan bernomor 105 tertanggal 14 April 2018 yang berisi respon baik terhadap serangan ke Suriah.
Dosen Kajian Timur Tengah dan Islam, Sekolah Kajian Stratejik dan Global UI ini menilai, dukungan Turki atas serangan Amerika dan sekutu sepertinya berbanding terbalik dengan sikap keras Turki terhadap dukungan AS atas kelompok PYD dan YPG, milisi Kurdi di Suriah.
Demikian pula dengan dukungan Turki atas serangan AS yang diikuti pula dengan komunikasi telepon Erdogan dengan Rouhani pada 17 April 2018, berisi tentang perhatian Erdogan terhadap senjata kimia dan harapan agar kerja sama ekonomi Turki-Iran terus berlanjut.
Baca: Hendak Jemput Keluarga, Albinus Malah Dikeroyok Sejumlah Sopir Taksi Bandara
"Artinya, melihat situasi geopolitik saat ini, kebijakan politik luar negeri Turki sangat realis dan pragmatis dengan memperhitungkan kepentingan nasionalnya," jelasnya.
Lalu bagaimana posisi Indonesia?
Menurut peneliti senior The Indonesian Society for Middle East Studies (ISMES), mandat Konstitusi dengan tegas menyatakan bahwa Indonesia harus turut memelihara perdamaian dunia.
Kebijakan politik luar negeri bebas aktif menjadi peluang untuk terus menyuarakan perdamaian ke dua faksi politik yang sedang bertikai.
"Dalam konteks inilah, Indonesia perlu mengambil peran sebagaimana halnya isu Palestina," ujar dia.