TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Lewat rangkaian surat dari wartawan Afrika, Zeinab Mohammed Salih kali ini mengkaji siapa di balik serangkaian protes di Sudan yang mengancam kekuasaan Presiden Omar al-Bashir yang telah berlangsung selama 30 tahun.
Berikut tulisan selengkapnya yang ditulis oleh Zeinab Mohammed Salih:
Banyak orang di Sudan sekarang lebih suka menyimpan uang mereka di bawah kasur daripada di bank.
Jika penduduk menabung di bank, dananya akan sulit diambil dari ATM karena sering kali kosong.
Pada anjungan pengambilan uang yang dananya masih ada, sering kali terjadi antrean panjang di ibu kota, Khartoum.
Warga juga antre untuk mendapatkan roti.
Saat kembali dari tempat kerja pada larut malam, sering kali saya harus menunggu selama satu jam antri di toko roti sebelum diberitahu makanan tersebut sudah habis.
Baca: Anggota Komisi III DPR Minta WNI di Sudan Dilindungi
Makanan lain menjadi mahal harganya bagi kebanyakan orang di ibu kota.
Kacang fava atau fuul dipandang sebagai makanan pokok di sini dan dapat ditemukan di setiap toko. Tetapi toko yang paling dekat tempat tinggal saya sekarang telah berhenti menjualnya karena kebanyakan orang tidak mampu membelinya, kata pemiliknya.
Pemotongan subsidi
Berbagai masalah bersumber dari usaha pemerintah untuk mencegah ambruknya ekonomi lewat langkah penghematan darurat dan devaluasi mata uang secara drastis.
Pada bulan Desember satu dolar Amerika (Rp14.000) sama dengan 76 pound Sudan di pasar gelap, sementara enam bulan lalu nilainya adalah kurang dari 40 pound Sudan.
Harga-harga juga melonjak. Tingkat inflasi tahunan mencapai 68% pada bulan November dibandingkan setahun lalu yang setinggi 25%.
Sebagai bagian dari penghematan, pemerintah mengurangi subsidi bahan bakar dan roti sehingga menimbulkan peningkatan harga barang kebutuhan pokok.
Peningkatan harga roti pada bulan lalu memicu serangkaian unjuk rasa massal, yang masih berlanjut. Protes dimulai di kota Atbara pada tanggal 19 Desember ketika markas partai yang berkuasa National Congress Party (NCP) dibakar.
Mirip Arab Spring, pergolakan di Arab
Aksi itu menjadi unjuk rasa menuntut diakhirinya kekuasaan Presiden Omar al-Bashir.
Pemrotes, yang menggunakan slogan Arab Spring, meneriakkan, "Rakyat menginginkan rezim diturunkan."
Unjuk rasa di Khartoum adalah yang terbesar sejak Presiden Bashir mulai berkuasa pada tahun 1989 lewat kudeta militer yang didukung kelompok berhaluan Islam.
Para pejabat mengatakan 19 orang tewas karena pasuka keamanan berusaha meredam protes, tetapi organisasi hak asasi manusia Amnesty International menyatakan pihaknya memiliki laporan yang dapat dipertanggungjawabkan bahwa 37 pengunjuk rasa terbunuh.
Banyak warga dari kelompok oposisi ditangkap dan para wartawan ditahan dan dilecehkan karena meliput unjuk rasa.
Hal ini meningkatkan tekanan terhadap presiden yang telah berumur 75 tahun, yang oleh warga dikatakan terlihat lelah dan agak kebingungan saat berbicara dengan pejabat tinggi polisi seminggu lalu.
Dia mendesak mereka untuk mengurangi penggunaan kekerasan saat menghadapi para pemrotes, tetapi al-Bashir kemudian terkesan memberikan pernyataan yang berlawanan saat mengatakan: "Apa hukuman yang tepat? Pembunuhan, eksekusi, tetapi Tuhan memandangnya sebagai sebuah kehidupan karena hal ini dapat mencegah tindakan pihak lain agar keamanan terpelihara."
Pernyataan ini dipandang sebagai lampu hijau untuk menerapkan pendekatan yang lebih keras. Hari berikutnya, saat ribuan orang turun ke jalan-jalan di Khartoum, tiga orang ditembak di bagian kepala dan seorang dokter ditembak di bagian pahanya oleh penembak jitu, kata para pegiat.
Sementara itu pemerintah menuduh sejumlah orang dari Darfur berada di belakang unjuk rasa, melakukan sabotase dan vandalisme.
Sekelompok mahasiswa Darfur yang bukan keturunan Arab ditangkap. Mereka diduga telah dilatih intelijen Israel untuk menyabotase negara. Rekan-rekan mereka telah menyangkal dan menuduh pemerintah menjadikan mereka sebagai kambing hitam.
Sebagai bentuk dukungan pada para mahasiswa, pengunjuk rasa menambahkan teriakan, "Anda kelompok rasis yang sombong, kami semua orang Darfur", saat mereka berdemonstrasi.
Presiden Bashir berjanji meningkatkan gaji pegawai negeri untuk mengatasi masalah, tetapi tindakan ini sepertinya tidak akan mengatasi inti masalah.
Dalam pidato di depan para pendukungnya di Khartoum, dia menyebutkan apa yang terjadi di Suriah sebagai sebuah peringatan, dengan mengatakan ketidakstabilan dapat membuat mereka menjadi pengungsi.
Tetapi Sudan sudah beberapa tahun menghadapi masalah ekonomi dan persoalan meningkat karena pemisahan Sudan Selatan pada tahun 2011, padahal wilayah tersebut menghasilkan sepertiga produksi minyak Sudan.
'Penembak jitu, kami lihat Anda'
Negara ini juga diasingkan dunia dan meskipun sejumlah sanksi Amerika Serikat terkait terorisme dan pelanggaran HAM telah dicabut pada tahun 2017, keadaan tidak membaik.
Berbagai usaha presiden Sudan untuk memiliki sekutu baru, lewat kunjungan ke presiden Suriah dan pengiriman pasukan ke Arab Saudi, sepertinya tidak berguna.
Sementara itu, meskipun antrean roti dan uang kontan terus berlanjut, keadaan di Khartoum telah berubah jika dibandingkan saat unjuk rasa dimulai.
Warga merasa ketakutan. Sebagian perempuan mengatakan mereka berhenti keluar karena tidak ingin meninggalkan anak mereka di rumah, berbeda dengan lima tahun lalu saat mereka ikut serta unjuk rasa antipemerintah.