TRIBUNNEWS.COM, BANDAR SRI BEGAWAN - Pemerintah Brunei Darussalam tidak hanya memberlakukan hukuman rajam sampai mati bagi pelaku LGBT dan perzinaan.
Dalam undang-undang hukum syariah yang telah mulai diberlakukan secara penuh pada Rabu (3/4/2019), para pelaku tindak pindana pencurian juga terancam sanksi tegas.
Dilansir Deutsche Welle Indonesia, para pelaku pencurian di Brunei kini menghadapi ancaman hukuman potong tangan berdasarkan hukum syariah yang ketat.
Pemberlakuan hukum syariah di Brunei sebenarnya telah mulai diperkenalkan sejak 2014 lalu.
Namun saat itu baru diterapkan hukuman ringan berupa denda maupun penjara bagi pelanggaran seperti berbuat hal tak senonoh atau melalaikan kewajiban shalat Jumat bagi pria Muslim.
Baca: Brunei mulai terapkan hukuman rajam LGBT hingga tewas, kaum gay merasa takut
Dalam pidato publiknya, Sultan Hassanal Bolkiah menyerukan ajaran Islam yang lebih kuat tetapi tidak menyebut tentang hukum pidana yang baru.
"Saya ingin melihat ajaran Islam di negara ini tumbuh lebih kuat," katanya dalam pidato yang disiarkan secara nasional di sebuah pusat konvensi di dekat ibukota Bandar Seri Begawan.
"Saya ingin menekankan bahwa negara Brunei adalah... negara yang selalu mengabdikan ibadahnya kepada Allah," tambahnya seperti dikutip dari kantor berita AFP seperti dikutip dari Kompas.com.
Sultan menambahkan bahwa dia ingin azan dikumandangkan di semua tempat umum, tidak hanya di masjid, untuk mengingatkan warga Muslim tentang kewajiban mereka.
Penegakan aturan hukum syariah yang ketat juga dikenakan kepada warga Brunei yang non-Muslim.
Salah satunya dalam ancaman hukuman mati bagi pihak-pihak yang dinyatakan menghina Nabi Muhammad.
Ancaman hukuman tersebut tidak hanya terbatas bagi warga Muslim Brunei, melainkan juga warga penganut agama lain.
Kendati telah memberlakukan aturan hukum syariah yang menuai kritik dan kecaman, Sultan bersikeras bahwa Brunei adalah negara yang adil dan bahagia.
"Siapa pun yang datang untuk mengunjungi negara ini akan memiliki pengalaman menyenangkan dan menikmati lingkungan yang aman dan harmonis," ujar Sultan.
Baca: Australia Belum Ubah Peringatan Perjalanan Ke Brunei Terkait Hukuman Bagi LGBT
Keputusan pemerintah Brunei untuk mengimplementasikan hukum syariah yang ketat ini telah memicu kekhawatiran di seluruh dunia, termasuk PBB yang menyebut Brunei "kejam dan tidak manusiawi".
Sejumlah negara, di antara AS dan Kanada, juga telah mendesak kepada Brunei untuk membatalkan hukuman ketat bagi pelaku LGBT.
Kantor Urusan Global Kanada menyatakan menentang hukuman berat di bawah hukum syariah yang diberlakukan Brunei, yang mencakup hukuman fisik bahkan hukuman mati.
"Kami telah menyampaikan keprihatinan kami secara langsung terhadap Brunei dan mendesak pemerintah negara itu untuk menunda penerapan hukum pidana baru dan untuk membuat perubahan guna memastikan bahwa itu konsisten dengan kewajiban hak asasi manusia internasional," demikian pernyataan Kanada.
Sementara, Kementerian Luar Negeri AS mengatakan hukuman itu bertentangan dengan "kewajiban hak asasi manusia internasional" yang harus dipenuhi Brunei.
"Keputusan Brunei untuk mengimplementasikan fase dua dan tiga hukum pidana syariah dan hukum terkait bertentangan dengan kewajiban hak asasi manusia internasional terkait tindakan penyiksaan, perlakuan kejam, tidak manusiawi dan merendahkan lainnya," kata wakil juru bicara Kementerian Luar Negeri AS Robert Palladino.
Baca: Diam-diam Mbah Mijan Pernah Jadi Tabib Undangan Kerajaan Brunei Darussalam
Hingga saat ini, hanya Arab Saudi, Iran, Mauritania, Sudan dan Yaman yang menerapkan hukuman mati bagi pelaku homoseksualitas, meskipun dalam beberapa tahun terakhir, hukuman semacam itu tidak diimplementasikan.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Brunei Berlakukan Hukum Potong Tangan untuk Pencuri dan Hukum Mati untuk Penghina Nabi" (Kompas.com/Agni Vidya Perdana)