TRIBUNNEWS.COM, Incheon, Korea Selatan - Berbagai langkah korektif sektor lingkungan hidup dan kehutanan Indonesia di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, menjadi fokus perhatian pada forum internasional Asia-Pacific Forestry Week (APFW).
Acara ini bersamaan dengan pertemuan ke 28 Asia Pacific Forestry Commission (APFC) di Incheon, Korea Selatan yang berlangsung pada tanggal 17-21 Juni 2019.
APFC adalah forum dua tahunan FAO regional Asia-Pasifik.
Adapun tema yang diangkat pada tahun ini adalah Forest for Peace and Well-Being (Hutan untuk Kedamaian dan Kesejahteraan).
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, menjadi tamu undangan utama pada acara pembukaan APFW 2019, Selasa (18/6/2019).
Pada kesempatan ini secara simbolis dilaksanakan penanaman pohon jenis oak bersama tamu VIP lainnya,
Sementara pada forum APFC, delegasi Indonesia menyampaikan pokok-pokok pikiran terkait dengan langkah-langkah koreksi yang telah dilaksanakan dalam membenahi tata kelola hutan Indonesia yang sangat relevan dengan tema acara.
Menteri Siti Nurbaya menyampaikan kebijakan atau program kerja pemerintahan Jokowi dan pelaksanaannya di Indonesia.
Antara lain kebijakan reforma agraria dalam bentuk tanah Obyek Reforma Agraria dan Perhutanan Sosial; Perubahan Iklim, Restorasi Gambut dan Reklamasi Lahan kritis, Sistem Verifikasi legalitas Kayu, dan Pengelolaan Kebakaran Hutan dan Lahan.
Penghargaan lain ialah dengan dipilihnya Indonesia sebagai salah satu Vice-Chair dalam sidang tersebut yang diwakili Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan KLHK, Bambang Supriyanto.
Reforma Agraria bertujuan untuk mengurangi konflik tenurial dilakukan melalui penataan pemukiman masyarakat serta lahan mata pecaharian masyarakat yng berada di dalam kawasan hutan.
Dengan TORA masyarakat mendapatkan akses kepemilikan legal dibawah TORA (Tanah Obyek Reforma Agraria) tersebut.
Sejalan dengan itu juga dilaksanakan program Perhutanan Sosial dan pengakuan secara resmi hutan adat.
Semua itu dalam kebijakan pemerintah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat khususnya yang berada di dalam dan sekitar kawasan hutan.
"Hingga Mei 2019, TORA mencapai 2,4 juta Ha, Perhutanan Sosial sebesar 3,1 juta Ha, dan pengakuan Hutan Adat sebesar 0,47 Ha," jelas Ketua Delegasi Indonesia, Bambang Supriyanto.
Hutan Rakyat
Bentuk hutan kemasyarakatan yang lain ialah hutan rakyat. Saat ini sumber bahan baku untuk industri di Indonesia, berasal dari kayu rakyat dengan besaran sumbangan 14,3% dari total 8,25 juta m3.
Hal ini dilanjutkan dengan intervensi yang terkait dengan fasilitasi akses pasar kayu legal. Hingga saat ini terdapat 294 kelompok petani hutan yang terdiri dari 106 ribu orang anggota dengan luas area sekitar 1 juta Ha.
"Tahun ini akan difasilitasi 140 kelompok petani hutan untuk produktivitas mereka melalui dukungan kebijakan, peralatan dan pembinaan," kata Bambang.
Peningkatan yang masih perlu dilakukan adalah meningkatkan insentif untuk mengembangkan pengadaan barang bersertifikat (legal) di dalam negeri dan meningkatkan penerimaan pasar.
Pemerintah Indonesia juga menargetkan dalam kurun waktu 5 tahun seluas 5,5 Juta Ha tersebar di 15 Daerah Aliran Sungai (DAS) prioritas RPJMN.
"Indonesia telah menginvestasikan Rp3,9 triliun. Selain itu perbaikan lingkungan pasca tambang melalui reklamasi diwajibkan kepada perusahaan-perusahaan," kata Bambang.
Indonesia juga merekomendasikan FAO untuk membangun digital platform guna memberikan wadah update bagi negara anggota dan memperluas manfaat bersama.
“Sidang sangat mengapresiasi platform Indonesia dalam mewujudkan Forest for Peace and Well-being terutama yang terkait dalam penyelesaian konflik akses lahan, konflik tenurial adat, kemiskinan melalui pemberian akses Perhutanan Sosial dan Hutan Adat," ungkap Bambang.
Hal tersebut ditopang dengan program pemerataan ekonomi yang bertumpu tidak hanya pada akses lahan tetapi juga kesempatan untuk mendapatkan akses permodalan dan pasar serta peningkatan kapasitas masyarakat.(***)