Sebagian besar dari 300 keluarga yang tinggal di kawasan itu adalah pekerja harian dan anak-anak mereka bersekolah di dekat situ.
Di depan rumahnya, ada timbunan plastik dan gelas yang siap dijual dan diadur ulang.
Lakshman mengatakan, dia dan istrinya setiap bulannya menghasilkan sekitar 10.000 rupee atau hampir Rp2 juta.
Pendapatan sebesar itu mereka gunakan untuk membiayai kebutuhan sehar-hari.
Namun demikian, kebutuhan biaya sekolah anak-anak mereka ditanggung negara alias gratis.
Lakshman tahu apa artinya berjuang: dia sendiri tumbuh tanpa orang tua dan selalu membanting tulang untuk mencari nafkah yang layak.
"Saya tidak pernah menginginkan anak-anak saya memiliki kehidupan seperti saya. Jadi, saya harus memastikan bahwa mereka bersekolah."
Ayah Divya mengatakan bahwa kegaduhan setelah foto itu menjadi viral "tidak adil" bagi keluarganya.
Foto itu, tambahnya, sangat menyakitkan karena dia juga membesarkan lima bocah dari saudara laki-lakinya.
"Adik dan ipar saya meninggal beberapa waktu yang lalu. Saya tidak ingin lima anak mereka tumbuh sebagai anak yatim. Jadi, saya mendaftarkan semuanya di asrama dan merawat mereka."
Ketika ditanya mengapa Divya pergi ke sekolah negeri dengan mangkuk di tangan, Lakshman menjelaskan banyak anak-anak dari kawasan kumuh pergi ke sana saat waktu makan siang untuk mendapat makan siang gratis.
Baca : Ternyata Bukan Ahok BTP, Sandiaga Uno Dikabarkan Pimpin BUMN Sektor Energi Ini, Simak Rekam Jejaknya
Mereka mengetahui ada makan siang gratis di sekolah itu lantaran kakak dan adik mereka juga terdaftar di sana.
"Divya tidak pergi setiap hari, tetapi dia kebetulan pergi pada hari itu dan seseorang memotretnya," jelasnya.