TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Presiden AS Donald Trump pada hari Rabu (27/11/2019) menandatangani rancangan undang-undang yang mendukung para pengunjuk rasa di Hong Kong meskipun harus menghadapi keberatan dan kemarahan dari Beijing.
Melansir Reuters, Rancangan Undang-undang, yang disetujui dengan suara bulat oleh Senat AS mengharuskan Departemen Luar Negeri untuk menyatakan, bahwa Hong Kong mempertahankan otonomi yang cukup sebagai syarat untuk melakukan perdagangan dengan AS yang telah membantu negara kota itu mempertahankan posisinya sebagai pusat keuangan dunia. Undang-undang juga mengancam sanksi untuk pelanggaran hak asasi manusia.
Lantas, bagaimana nasib kesepakatan dagang yang saat ini masih terus berlangsung? Apalagi, China sangat marah saat Senat dan DPR AS meloloskan RUU HAM Hong Kong beberapa waktu lalu.
Melansir Reuters, pada pekan lalu, Trump menyombongkan diri bahwa dia telah mencegah Beijing untuk membubarkan paksa aksi demonstrasi dengan sejuta tentara.
Dia juga menambahkan bahwa dirinya telah berbicara kepada Presiden China Xi Jinping tindakan itu akan memiliki dampak negatif yang luar biasa pada pembicaraan perdagangan.
Aksi Trump sempat menimbulkan pertanyaan tentang komitmennya untuk melindungi kebebasan di Hong Kong ketika banyak pihak yang merujuk pada pernyataannya bulan Agustus lalu. Pada waktu itu, dia menyebut aksi protes massa jalanan sebagai "kerusuhan" yang menjadi masalah yang harus ditangani oleh China.
Trump lagi-lagi menyebut soal "kerusuhan" pada pekan lalu. Akan tetapi, ia juga meminta China untuk menangani masalah ini secara manusiawi dan berulang kali memperingatkan dampak kejadian di Hong Kong pada pembicaraan perdagangan.
Banyak yang melihat undang-undang AS sebagai simbolis semata. Akan tetapi jika diterapkan, ketentuan undang-undang memiliki potensi untuk meningkatkan hubungan antara Amerika Serikat dan Hong Kong dan mengubah status wilayah itu menjadi kota China lainnya.
Para analis mengatakan setiap langkah untuk mengakhiri perlakuan khusus Hong Kong dapat membuktikan kekalahan bagi Amerika Serikat, yang telah diuntungkan dari kondisi ramah bisnis di wilayah tersebut.
Jika Hong Kong hanya menjadi pelabuhan China lainnya, perusahaan yang mengandalkan peran wilayah itu sebagai perantara atau untuk pengiriman barang, kemungkinan akan mengalihkan bisnis mereka ke tempat lain.
Menurut data Departemen Luar Negeri AS, 85.000 warga AS tinggal di Hong Kong pada 2018 dan lebih dari 1.300 perusahaan AS beroperasi di sana, termasuk hampir setiap perusahaan keuangan utama AS.
Berita ini tayang di Kontan: https://internasional.kontan.co.id/news/alasan-mengapa-as-sangat-mencampuri-urusan-hong-kong?page=all