TRIBUNNEWS.COM - Perang sipil Suriah yang berlangsung hampir sembilan tahun telah menjadi berita utama di tengah persaingan dan krisis internasional.
Pasukan Suriah yang didukung Rusia telah menggempur kota-kota dan desa-desa di Idlib, kota di barat laut Suriah.
Menurut kelompok hak asasi, benteng dikuasai pemberontak yang tersisa, memaksa sekiranya 150 ribu orang melarikan diri dalam dua minggu terakhir.
Diwartakan NBC News, negara tetangga, Turki dikabarkan telah menerima jutaan pengungsi.
Turki dituduh memaksa beberapa dari para pengungsi itu kembali ke 'zona perang'.
"Saya tidak ingat berapa kali saya harus pindah karena pengeboman hebat," kata Abu Ziyad (36), seorang warga Suriah.
Baca: Mantan Teroris Sofyan Tsauri Ungkap Nasib Rekannya Eks ISIS yang Masih di Suriah: Kondisi Mencekam
Abu Ziyad melarikan diri saat Ghouta timur terkepung.
Ia melarikan diri bersama keluarganya dua tahun lalu dan kini ia kembali terlantar.
Abu Ziyad dan sekira 3 juta orang telah mengungsi dan tinggal di Idlib.
Idlib merupakan wilayah yang dikuasai oposisi terakhir di negara itu.
Organisasi-organisasi bantuan dan kelompok hak asasi manusia (HAM) telah meningkatkan kewaspadaan atas laporan serangan terhadap sekolah, pasar dan fasilitas medis.
Baca: Isu WNI Eks ISIS, Mantan Teroris Dihubungi Teman dari Suriah Ungkap Alasan Ingin Pulang ke Indonesia
Komite Penyelamatan Internasional memperkirakan hampir 300 warga sipil tewas sebagai akibat dari adanya perang.
"Eksodus yang mengejutkan, puluhan ribu lainnya bergabung dengan mereka setiap hari," kata Presiden kelompok bantuan World Vision International, Andrew Morley.
Sementara itu, organisasi HAM menuduh Turki mendeportasi warga Suriah kembali ke zona konflik.
Tuduhan tersebut dibantah oleh pihak Ankara.
Human Rights Watch mengatakan, puluhan warga Suriah dan mungkin lebih banyak lagi telah dikirim kembali antara Januari dan September 2019.
Amnesty International mengatakan, pihaknya memverifikasi 20 kasus deportasi.
"Klaim para pejabat Turki, semua warga Suriah kembali ke negara mereka dengan senang hati tak memberikan tanggapan di hadapan bukti yang bertentangan," kata pihak Human Right Watch, Gerry Simpson.
"Turki menjadi tuan rumah empat kali lebih banyak warga Suriah daripada Uni Eropa," kata dia.
"Tetapi itu tidak berarti bisa mengembalikan mereka ke zona perang," tegasnya.
Baca: Sepulang dari Suriah, Wanita Simpatisan ISIS Ini Mengaku Tertipu, Perempuan Dijadikan Pabrik Anak
Tidak Pergi dengan Sukarela
Haytham Abdallah mengatakan, ia kembali dari Turki ke Suriah pada Juli 2019.
Ia menegaskan tidak pergi dari Turki dengan sukarela.
Abadallah (40) menuturkan, ia, istri dan tiga anaknya dipaksa untuk mengikuti perintah karena mereka tidak dapat bertahan hidup di Istanbul tanpa mencari nafkah.
Abdallah berbicara dengan NBC News pada Oktober 2019 lalu mengatakan, sekarang ia dan keluarga hidup segan mati tak mau di kamp Azaz, Suriah barat laut.
Ia dan keluarganya mengandalkan bantuan makanan untuk bertahan hidup.
Baca: Pengamat: Pemerintah Tak Punya Prosedur Karantina WNI Pro-ISIS Suriah
Ankara mengatakan, daerah itu memungkinkan warga Suriah untuk hidup aman di negara asal mereka.
"Ini bukan zona aman, ini adalah penjara," katanya.
Komite Penyelamatan Internasional mengatakan keprihatinannya sebab 800 ribu orang yang saat ini berada dalam zona perang akan dibiarkan dengan sedikit pilihan untuk keselamatan.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)