TRIBUNEWS.COM - Kementerian Pertahanan Turki mengkonfirmasi lima tentaranya tewas dalam serangan yang dilakukan oleh pasukan pemerintah Suriah di barat laut Suriah pada Senin (10/2/2020).
Dilansir dari Al Jazeera, serangan tersebut menghantam Pangkalan Militer di provinsi Idlib.
Untuk diketahui, Idlib adalah beteng terakhir yang dikuasai pemberontak di negara yang tengah dilanda perang itu.
"Tembakan artileri intens Suriah menargetkan elemen yang kami kirim sebagai penguat ke wilayah itu, dengan tujuan untuk mencegah bentrokan di Idlib," kata Kementerian Pertahanan Turki.
"Kami memastikan keamanan perbatasan kami dan menghentikan migrasi dan tragedi kemanusiaan ini," tegasnya.
Berdasar pernyataan Kementerian Pertahanan, militer Turki membalas dengan menghancurkan 115 target dan mengatakan telah 'menetralisir' 101 personil militer.
Perlu diketahui, dalam pernyataannya, pemerintah Turki sering menggunakan kata 'dinetralkan' untuk menyiratkan bahwa elemen musuh telah menyerah, dibunuh atau telah ditangkap.
Satu di antara koresponden Al Jazeera, Sinem Koseoglu melaporkan, di persimpangan Bab al-Hawa perbatasan Suriah, tentara Suriah menargerkan pangkalan militer Taftanaz.
Pangkalan tersebut diambil alih tentara Turki dari militer Suriah pekan lalu untuk membangun pos pengamatan pos baru.
"Ini dilihat sebagai eskalasi tertinggi yang pernah terjadi di antara Ankara dan Damaskus dalam perang Suriah yang telah berlangsung sembilan tahun," katanya.
Koresponden Al Jazeera menambahkan, tentara Suriah memukul mundur angkatan bersenjata Turki.
Terkait ketegangan yang tejadi ini, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Menteri Pertahanan Hulusi Akar mengambil tindakan.
Dilaporkan NTV Turki, mereka segera mengadakan pertemuan darurat setelah serangan itu.
Baca: PBB Sebut Situasi di Idlib, Suriah Barat Laut Memprihatinkan, Pengungsi: Bagaikan Hari Penghakiman!
PBB: Situasi Iblid Memprihatinkan
Dikutip dari Al Jazeera, Staf kemanusiaan setempat menyebut, pada Minggu (9/2/2020), kondisi di Idlib memburuk dengan cepat.
Penduduk setempat harus berjuang mengatasi lonjakan pengungsi dari utara dan barat Idlib-Aleppo.
"Situasinya 20 kali lebih buruk daripada tahun lalu," kata Obaida Dandoush yang dikutip dari Al Jazeera.
Pekerja LSM dari Syria Relief and Development itu menyebut, tahun lalu (2019) mereka memiliki 1,2 juta pengungsi.
Untuk diketahui, di perang Suriah ini, pasukan dari pemerintah Suriah tengah berjuang merebut kembali kubu oposisi terakhir di barat laut yang merupakan tempat tinggal lebih dari tiga juta orang.
Data dari PBB, sekira ada 700 ribu orang, wanita dan anak-anak telah melarikan diri sejak pertempuran baru-baru ini semakin meningkat pada Desember 2019 lalu.
PBB menegaskan, perang Suriah ini menyebabkan gelombang besar dan kerugian bagi kehidupan warga sipil.
Situasi Sangat Buruk
Penduduk yang kehilangan tempat tinggal karena ketegangan perang Suriah berbicara kepada Al Jazeera.
Mereka mengkonfirmasi belum menerima bantuan dari Humanitarian organisations.
Sara, janda berusia 38 tahun yang merupakan ibu dari lima anak, dalam wawancara meminta namanya disamarkan, buka suara.
Sara menuturkan, ia melarikan diri ke utara dari Saraqeb, sebelum daerah itu diambil alih pasukan pemerintah Suriah.
Ia tidak menemukan tempat berlindung setelah tiba di Aqrabat, desa yang dikelilingi oleh kamp-kamp pengungsi di perbatasan Suriah-Turki.
"Saya hanya meletakkan tikar di atas tanah di bawah pohon untuk menjadi tempat tidur," katanya.
Sara menerangkan, ia tidak melihat ada organisasi lokal atau pun asing membagikan makanan atau jenis bantuan lain di daerah tersebut.
Di tengah situasi buruk itu, Sara bertahan hidup dan membeli roti untuk anak-anaknya.
Ia menambahkan, air minum sulit untuk ditemukan di sana.
Sementara buah dan sayuran adalah sesuatu yang hanya bisa Sara dan keluarganya impikan.
"Saya terus berjalan hanya demi anak-anakku. Situasinya sangat buruk, seperti Hari Penghakiman," kata Sara.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)