TRIBUNNEWS.COM - Bagi kebanyakan anak, ulang tahun merupakan sebuah perayaan.
Hal tersebut tidak berlaku bagi gadis Kamerun, yang berinisial M (10).
Bagi M, seorang pengungsi dari Kamerun yang saat ini tinggal di Nigeria, tepatnya di Ogoja, negara bagian Cross River, saat ia berusia 10 tahun merupakan tanda dimulainya siksaan yang melelahkan.
Payudara para gadis muda disetrika dengan batu panas oleh sang ibu.
Setiap pagi, para tetangganya, membantu memegangi kaki gadis M dengan kuat.
Sementara sang ibu mengambil alu panas yang membara langsung dari api, dan menekannya ke dada sang putri.
Dilansir Al Jazeera, tindakan itu dilakukan untuk meratakan payudara sang anak gadis.
Prosedur ini dilakukan secara berulang selama berbulan-bulan, atau bahkan bertahun-tahun.
Diketahui, prosedur itu dijalankan dengan maksud menghentikan pertumbuhan payudara para gadis muda Kamerun itu.
"Rasanya seperti mereka menempatkan api yang nyata di payudaraku," kata M.
"Aku menderita sejak hari pertama," terangnya.
Kekerasan Berbasis Gender
Melihat tingginya tingkat pelecehan seksual di lingkungannya, Ibu A bertekad pada upayanya untuk membuat sang anak menjadi kurang diinginkan bagi pria.
"Aku hanya tidak ingin dia menjadi target anak laki-laki di sekitarnya," kata Ibu A.
"Aku sadar banyak anak laki-laki di sini suka mengejar gadis kecil," tambahnya.
Praktik menyeterika payudara gadis muda ini diketahui sudah terjadi di Kamerun selama beberapa generasi.
Asal usul praktik ini tidak jelas, tetapi sekira seperempat wanita di Kamerun telah mengalami penyetrikaan payudara.
Berdasar data penelitian oleh Gender Empowerment and Development (GeED), merupakan organisasi non-pemerintah,yang berbasis di Yaounde, Kamerun, menemukan bahwa hampir 60 persen kasus, prosedur itu dilakukan oleh sang ibu.
PBB menyebut penyetrikaan payudara merupakan kekerasan berbasis gender yang termasuk dalam satu di antara kejahatan yang paling sedikit dilaporkan.
Diperkirakan tindakan tersebut mempengaruhi 3,8 juta wanita secara global.
Baca: Akui Punya Hasrat Seksual Pada Anak, Oknum Marbot Masjid Cabuli 3 Bocah, Modus: Udah Sunat Belum?
Tidak Ada Gadis yang Aman
Tak berbeda dengan kondisi pengungsi lain di Cross River State, gadis M, dan Ibu A mengungsi dari kota barat daya Kamerun ke Nigeria.
Diberitakan, wilayah tersebut telah dikuasai oleh mayoritas yang menggunakan bahasa Perancis.
Sebelumnya, di wilayah tersebut, pertempuran pecah antara pasukan pemerintah dan separatis yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu.
Konflik yang terjadi itu telah memaksa sekira 500 ribu orang meninggalkan rumah mereka dan menciptakan krisis kemanusiaan di wilayah tersebut.
Berdasar data terbaru dari Badan Pengungsi PBB (UNHCR), Nigeria saat ini telah menampung lebih dari 50 ribu pengungsi dari Kamerun.
Data itu menunjukkan 70 persen di antara pengungsi tersebut, hampir setengahnya adalah pengungsi yang tinggal satu di antara empat pemukiman pengungsi.
Sisanya tinggal di komunitas milik tuan rumah.
Diberitakan, Ibu A dan sang putri tiba di Ogaja pada Februari 2018 lalu.
Mereka bergabung dengan pengungsi lain yang berlindung di Adagom dan Okende.
Di Adagom dan Okende inilah terjadi banyak laporan pelecehan seksual oleh anggota masyarakat yang merupakan tuan rumah, atau pun dari pengungsi lain.
"Akhir-akhir ini, Anda tidak bisa keluar rumah tanpa bertemu dengan seorang pria yang menuntut seks, atau sekedar mengundang ke rumahnya.," tutur gadis berinisial Q kepada Al Jazeera.
Gadis Q berusia 17 tahun itu melarikan diri bersama orang tuanya dari kota Mamfe, perbatasan barat daya Kamerun untuk tinggal di Adegom.
"Tidak ada gadis yang aman di sini, tuturnya.
Diketahui, lebih dari 12 gadis Kamerun yang tinggal dipemukiman Adagom dan Okende, scara teratur dilecehkan secara seksual oleh laki-laki.
"Saya butuh uang untuk membeli pembalut wanita, saya pergi untuk meminta bantuan seorang pria, begitu saya menghampiri lakit-laki itu mulai menyentuh saya," kata gadis berinisial L (16).
"Aku lari ketika dia mencoba menyeret tubuhku ke arahnya," tambah gadis berinisial L.
Khawatir tentang keselamatan putri mereka yang masih berusia 13 tahun, pasangan berinisial H dan sang suami membuat keputusan untuk menyetrika payudara sang anak.
Keputusan itu diambil setelah anaknya melaporkan bahwa pria yang rumahnya ia bersihkan telah menyentuh bagian tubuhnya.
"Pelecehan yang dihadapinya membuat kami memutuskan (untuk menyetrika payudaranya) lebih mudah," kata ibu H.
"Yang kami lakukan adalah untuk kebaikannya sendiri," tambahnya.
Terkait prosedur dan praktik menyetrika payudara itu, seorang senior Spesialis Perlindungan di Caprecon Development and Peace Initiative, yang bekerja pada perlindungan anak di kamp-kamp pengunsian timur laut Nigeria buka suara.
Ia mengatakan, "Praktik ini berakhir dengan melukai anak-anak dan menempatkan mereka pada risiko komplikasi parah," katanya.
"Keluarga sebaiknya menyalurkan upaya mereka untuk mendidik anak perempuan mereka tentang masalah seks," tambahnya.
Ketakutan Tidak Berdasar
Masih dikutip dari Al Jazeera, ketakutan keluarga pengungsi terhadap anak perempuan mereka disebut tidak berdasar.
Pengungsi perempuan dan orang-orang terlantar di Nigeria berisiko tinggi mengalami pelecehan seksual dan eksploitasi seksual.
PBB menyebut pihaknya sadar akan tingginya tingkat kebutuhan seks untuk bertahan hidup di wilayah tersebut.
Juru Bicara UNHCR William Spindler buka suara.
Ia mengatakan UNHCR prihatin bahwa lebih banyak insiden yang tidak dilaporkan atau hanya dirujuk sampai pada sesepuh masyarakat.
Untuk diketahui, di negara asal mereka, para gadis Kamerun berisiko hamil dan menikah dini.
Menurut UNICEF, dalam periode antara 2008 dan 2014, sejumlah 13 persen gadis-gadis Kamerun menikah pada saat mereka berusia 13 tahun.
Menurut Dewan Medis Kamerun, 25 persen kehamilan terjadi pada gadis yang masih berusia sekolah, dan 20 persen gadis hamil tidak kembali bersekolah.
Ketakutan menghantui banyak keluarga pengungsi dari Kamerun dan menambah level bahaya bagi putri mereka.
Terkait hal itu, menyetrika payudara merupakan satu harapan bagi sebagian orang lainnya.
Para aktivis telah memperingatkan tentang konsekuensi kesehatan fisik dan psikologis para korban.
"Gadis-gadis menjalani prosedur berisiko, masalah seperti kanker payudara, kista, dan ketidakmampuan untuk menyusui," kata Salome Gambo.
"Belum lagi luka fisik dan psikologis yang terkait dengan kebiasaan itu," tambahnya.
"Sudah saatnya keluarga mengakhiri pelecehan semacam itu," tegasnya.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)