TRIBUNNEWS.COM - Beberapa waktu lalu viral sebuah foto yang memperlihatkan seorang wanita tengah mengusap air matanya.
Belakangan diketahui wanita ini adalah Lu Yuejin, seorang ibu dari putrinya yang mengidap kanker darah atau leukimia.
Dilansir BBC saat itu tidak diketahui kapan terjadinya, Lu Yuejin tengah membawa tas besar berisi pakaiannya.
Dia juga memegang erat selimut yang menutupi seluruh tubuh putrinya itu.
Hu Ping, putri dari Lu Yuejin, membutuhkan selimut agar dia tetap hangat karena dia mengidap leukimia.
Tetapi yang lebih penting adalah, Ping harus segera keluar dari Provinsi Hubei.
Wanita 26 tahun itu memulai kemoterapi di Wuhan, Provinsi Hubei, China pada Januari lalu.
Wabah Covid-19 / virus corona yang muncul di akhir tahun 2019 lalu, lantas membanjiri rumah sakit tempat Ping dirawat.
Pada 28 Januari, pihak rumah sakit mengatakan padanya bahwa tidak ada ruangan lagi di sana.
Sehingga dia mau tidak mau harus pindah ke tempat lain.
Keluarga Ping berusaha mencari perawatan di 10 rumah sakit lain di Hubei, tetapi tidak ada lagi tempat tidur yang tersisa.
Hu Ping dan ibunya tinggal di dekat perbatasan Hubei, jadi mereka berdua mencoba masuk ke Provinsi Jiangxi.
Tetapi saat mereka tiba di jembatan Sungai Yangtze, mereka baru sadar bahwa terjebak.
Sangat lumrah Hu Ping keluar dari Hubei karena alasan kesehatannya.
Namun, dia dan ibunya tidak memiliki izin khusus untuk melintasi perbatasan itu.
Saat Lu Yuejin tahu kalau dia dan putrinya tidak bisa melintas, wanita ini seketika menangis.
"Tolong bawa putriku," katanya.
"Aku tidak perlu lewat, tolong biarkan putriku yang pergi," tambahnya sambil menangis.
Saat itu, ada dua wartawan Reuters yang sedang ada di dekatnya.
"Putriku harus pergi ke rumahsakit di Jiujiang (kota perbatasan Jiangxi)," jelasnya pada dua awak media itu.
"Dia harus dirawat. Tapi mereka tidak akan membiarkan kami lewat."
Sesaat setelah dia mengungkapkan maksudnya, pengeras suara tiba-tiba menyerukan bahwa warga Hubei dilarang masuk ke Jiangxi dengan kasar.
"Yang ingin saya lakukan hanya menyelamatkan nyawanya," ujar ibu dari Hu Ping ini.
Saat ibunya memohon-mohon pada petugas perbatasan, Hu Ping terduduk di lantai aspal terbungkus selimutnya.
Baca: Pulangkan 37 Berstatus ODP Corona, RSUP Persahabatan Minta Pasien Isolasikan Diri 14 Hari di Rumah
Setelah satu jam menunggu, sebuah ambulans datang di pos pemeriksaan perbatasan itu dan mereka diizinkan masuk.
Menurut tunangan Hu Ping, yaitu Shi Xiaodi, ibu mertuanya itu menangis sambil memohon-mohon pada petugas.
"Ibu mertuaku menangis lama sekali, memohon pada polisi itu," katanya.
"Polisi bertanya alasannya dengan rinci dan mengetahui bahwa Hu Ping adalah pasien leukemia parah dan harus segera dirawat."
"Polisi itu meminta instruksi pada atasan mereka dan atasannya memaklumi situasi tersebut lalu mengirimkan ambulans," jelasnya.
Hu Ping dibawa di Rumah Sakit Third People di Universitas Jiujiang.
"Dia sekarang mendapat perawatan yang baik," kata Shi
"Dia masih muda, sehingga dia lebih cepat pulih."
Kendati demikian, mereka masih mengkhawatirkan hal yang lain.
Pasangan kekasih ini tidak kaya, sehingga mereka kesulitan menutup biaya pengobatan untuk Ping.
Beruntungnya, mereka mendapatkan banyak sumbangan ketika mereka membuat video bertajuk 'Pengantin Wanita Ini Didiagnosa Leukemia, Kami Tidak Akan Menyerah'.
"Begitu banyak yang membantu kami," kata Shi.
Baca: Kondisi Terkini 4 Pasien Positif Corona di Indonesia, Pasien 03 dan 04 Menunjukkan Perubahan
Tetapi biaya tersebut masih jauh dari kata cukup, karena Shi sudah menghabiskan 100.000 yuan setara Rp 200 Juta untuk perawatan tunangannya itu.
Meskipun begitu, kedua orang tua Hu Ping juga mengupayakan kesehatan anaknya itu.
"Keluarga tidak memiliki penghasilan apapun sekarang," jelas Shi.
"Orang tuanya adalah petani dan saat ini tidak bisa bekerja karena wabah."
Meskipun tunangannya itu sempat ditolak beberapa rumah sakit di Hubei, Shi tidak mengritik mereka.
Menurutnya para perawat dan petugas medis setiap hari sudah bekerja tanpa istirahat.
Shi bahkan merasa bahwa Hu Ping sangat beruntung mendapat kamar perawatan di kota perbatasan ini.
Sedangkan di luar sana masih banyak orang yang meninggal karena tidak mendapatkan perawatan di rumah sakit.
"Saya mendengar dari berita bahwa satu dua pasien meninggal karena mereka tidak dirawat," ungkapnya.
Kendati demikian, dia tidak tahu pasti sampai kapan Hu Ping harus menjalani proses medis ini.
"Bahkan jika dia mendapatkan perawatan yang baik sekalipun, ini akan membutuhkan waktu dua atau tiga tahun (untuk pulih)."
"Bahkan jika dia sudah sembuh, masih ada kemungkinan kambuh lebih buruk lagi," tutur Shi.
Shi Xiaodi bertemu dengan Hu Ping delapan tahun lalu saat bersekolah di universitas yang sama.
Setelah menjalin hubungan selama tiga tahun, mereka berencana untuk menikah Januari 2020 ini.
Namun, vonis leukemia dan wabah corona yang menyerang Hubei membuat rencana keduanya hancur.
Kendati demikian, Shi menegaskan pernikahannya hanya ditunda saja.
"Kami percaya diri bisa melewati ini semua," katanya.
"Kami akan menikah ketika keadaannya sudah lebih baik."
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)