TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON - Markas Besar Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) menyatakan bahwa tidak ada pasukan tugas aktif yang dikerahkan ke wilayah ibu kota, Washington DC, untuk mengatasi aksi protes.
Pernyataan iniĀ kontradiktif dengan penjelasan Presiden AS Donald TrumpĀ yang mengancam akan mengirimkan pasukan militer untuk menangani kerusuhan di Washington.
Dikutip dari laman Russia Today, Kamis (4/6/2020), Menteri Pertahanan AS Mark Esper memiliki sikap yang bertolak belakang dengan Trump dalam menghadapi situasi panas saat ini.
Ia pun sempat mengikuti pertemuan Gedung Putih dan diskusi internal Pentagon yang diadakan pada Rabu kemarin.
-
Baca: Inilah Bungker Rahasia di Gedung Putih Tempat Presiden Trump Sembunyi dari Para Pendemo
-
Baca: Strategi Para PSK Tetap Bisa Dapat Pelanggan di Tengah Wabah Corona
Mengutip pernyataan Sekretaris Angkatan Darat AS Ryan McCarthy, The Associated Press melaporkan bahwa keputusan Esper itu dimaksudkan untuk memastikan dilakukannya penegakkan hukum di ibu kota AS terkait kasus kerusuhan yang baru saja terjadi.
Kendati demikian, tidak jelas apakah Esper juga melakukan pembicaraan dengan Presiden AS Donald Trump terkait keputusan ini.
"Terkait situasi saat ini untuk tidak membawa pasukan aktif, itu karena kami tidak berpikir bahwa saat ini kami membutuhkan mereka. Tapi akan lebih bijaksana untuk punya pasukan cadangan," kata McCarthy.
McCarthy menambahkan bahwa sekitar 200 tentara akan tetap berada di wilayah ibu kota selama 24 jam ke depan.
"Ini situasi yang dinamis, kami mencoba untuk menariknya dan membawanya pulang," jelas McCarthy.
Sebanyak 1.600 tentara yang bertugas aktif, sebelumnya telah dikerahkan bergerak ke wilayah Washington pada awal pekan ini.
Mereka terus disiagakan setelah terjadinya demonstrasi brutal anti-polisi yang terus mengguncang kawasan itu.
Demonstrasi di Washington sempat mengalami peningkatan menjadi kerusuhan, penjarahan, dan vandalisme.
Ratusan tentara Garda Nasional turut dikerahkan untuk berpatroli di kota itu saat terjadinya kerusuhan.
Sebelumnya pada hari Rabu kemarin, Esper mengatakan bahwa militer seharusnya hanya digunakan untuk mengendalikan kerusuhan sebagai 'upaya terakhir'.