TRIBUNNEWS.COM - Ribuan orang ambil bagian dalam protes rasisme untuk George Floyd, pria kulit hitam AS yang meninggal di tangan polisi.
Namun warga Prancis membawa satu mana lagi, Adama Treore dalam aksi protes mereka ini.
Adama Treore adalah pria kulit hitam yang meninggal diduga karena penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi Prancis, sebagaimana dikutip dari BBC.
Insiden maut ini terjadi pada Juli 2016 dimana saat itu Traore sedang keluar bersama saudaranya di pinggiran Kota Paris, Beaumont-sur-Oise.
Baca: Fakta Unik Demi Glace, Saus Asal Prancis yang Butuh 2 Hari untuk Membuatnya
Baca: Mulai 6 Juli, Museum Louvre di Prancis Dibuka Kembali
Saudaranya ini didatangi polisi karena suatu masalah, namun karena Treore sadar tidak membawa kartu identitas dia lari ketika melihat polisi ini.
Pria 24 tahun ini lantas ditangkap polisi setelah aksi kejar-kejaran selama 15 menit.
Kemudian tiga petugas kepolisian dilaporkan menjepit tubuh Traore dengan menumpukan semua berat badan ke pria ini.
Traore dinyatakan meninggal karena gagal jantung, namun otopsi kedua mengatakan bahwa Traore meninggal karena kehabisan napas.
Aktivis menilai kematian Traore disebabkan tindakan polisi, sayangnya para polisi terkait hanya dibebastugaskan.
Menurut warga Prancis, kematian Adama Traore sama dengan pembunuhan pada George Floyd.
Sama-sama pria kulit hitam, George Floyd juga diduga meninggal setelah lehernya dikunci seorang polisi.
Pria Afrika-Amerika ini sebelumnya ditangkap dengan dugaan pemalsuan uang senilai USD 20 atau sekira Rp 280 ribuan.
Publik merasa polisi bertindak berlebihan karena sebuah video memperlihatkan Floyd yang merintih tidak bisa bernapas dengan tubuh tiarap ke aspal.
"Tolong, aku tidak bisa bernapas," rintih Floyd.
Alih-alih melepaskan lututnya, polisi yang menindihkan, Derek Chauvin tidak bergeming hingga Floyd tidak sadarkan diri.
Bahkan menurut penyidik, Chauvin menindih leher Floyd selama sembilan menit ditambah beberapa detik saat pria malang ini sudah tidak responsif.
Aksi protes ini membuka luka lama kakak Traore, Assa yang berbicara di tengah aksi demonstrasi itu.
"Hari ini kita tidak hanya berbicara tentang pertarungan keluarga Traore."
"Ini adalah perjuangan untuk semua orang. Ketika kami berjuang untuk George Floyd, kami berjuang untuk Adama Traore," katanya.
"Apa yang terjadi di Amerika Serikat adalah gaung dari apa yang terjadi di Prancis," tambah Assa.
Selain tindakan polisi yang berlebihan, kasus Traore dan George Floyd juga memiliki laporan kematian yang bertentangan.
Sama halnya dengan Traore, menurut otopsi awal Floyd dilaporkan meninggal karena masalah jantung bawaan.
Sedangkan otopsi yang dilakukan keluarganya mengatakan Floyd meninggal karena sesak napas akibat tekanan.
Baca: Prancis, Inggris, Jerman Sesalkan AS Akhiri 3 Sanksi Nuklir Iran
Baca: Gas Air Mata dan Semprotan Merica Berisiko Jadi Penyebab Penularan Corona di Tengah Kerusuhan AS
Otopsi resmi Floyd kemudian mengkonfirmasi bahwa pria malang ini meninggal dalam pembunuhan yang melibatkan 'kompresi leher'.
Aksi ini menyebabkan bentrok antara kepolisian Prancis dengan para pengunjuk rasa pada Selasa (2/6/2020) lalu.
Kepala polisi Paris menolak tuduhan rasisme terhadap pasukannya.
Sekitar 20.000 orang menentang larangan pertemuan massa untuk menghindari Covid-19 demi bergabung dengan demonstrasi.
Meski awalnya berjalan damai, arak-arakan ini tiba-tiba berubah mencekam.
Para demonstran melempari polisi dengan batu dan dibalas polisi dengan gas air mata.
(Tribunnews/Ika Nur Cahyani)