News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Analisis Editor

Kasus TikTok dan Huawei, Perang Dagang AS-China, dan Ancaman Bencana Global  

Editor: Setya Krisna Sumarga
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ILUSTRASI

TRIBUNNEWS.COM, YOGYA – Perang memperebutkan Tiktok jadi babak baru konflik AS vs China. Aplikasi video pendek yang digemari kawula muda itu menyulut kemarahan Washington.

Gedung Putih semula ingin mendepak Tiktok dari Amerika. Presiden Trump bertekad melarangnya muncul di platform digital apapun. Tiktok harus disapu bersih. Alasannya, keamanan data pribadi.

Belakangan ia berubah pikiran. Skema baru dijajal. Tiktok harus “dikuasai” Amerika, lewat akuisisi. Microsoft Corp didorong maju.

Trump memberi waktu 45 hari sejak 3 Agustus 2020. Akuisisi harus kelar, atau Tiktok digulung selamanya dari jangkauan warga AS.

Tensi tinggi Gedung Putih melawan Beijing ini kelanjutan perang dagang, konflik ekonomi politik antara kedua negara raksasa ini.

Peran Presiden Nixon dan Mao Zedong

Presiden Richard Nixon mungkin punya kontribusi besar atas menjulangnya China. Nixon bertemu Ketua Partai Komunis China (PKC) Mao Zedong pada 1972.

Pertemuan itu benar-benar membuka jalan masuknya Tiongkok ke dalam ekonomi global. William Safire, penulis pidato Nixon pernah membuat testimoni di New York Times pada 2000.

"Realis tua itu (Nixon), telah memainkan kartu China untuk mengeksploitasi perpecahan di dunia komunis,” tulis Safire seperti dikutip Azhar Sukri, editor bisnis Aljazeera.com, Selasa (4/8/2020).

“(Ia) menjawab dengan sedikit kesedihan bahwa (keputusannya) tidak semudah yang pernah dia harapkan: 'Kita mungkin telah menciptakan Frankenstein'," Safire mengutip perumpamaan Nixon.

Akhir bulan lalu, Menlu Mike Pompeo di Perpustakaan dan Museum Kepresidenan Richard Nixon, California, menyampaikan pidato yang hampir seutuhnya menyerang China.

Narasi Pompeo, seperti juga bosnya, Presiden Donald Trump, terasa kuat hendak membawa China ke hubungan beku seperti era perang dingin.

Pompeo mengatakan Washington dan sekutu-sekutunya harus menggunakan "cara yang lebih kreatif dan tegas" untuk menekan Partai Komunis China.

Targetnya, supaya China  mengubah praktik perdagangan yang dinilai tidak adil, melanggar HAM, dan ada upaya menyusup ke masyarakat AS.

Sesudah pertemuan 1972, China benar-benar bangkit dari serpihan debu Revolusi Kebudayaan Mao Zedong.

Hari ini, China menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia. Mereka nyaris sudah tidak terisolasi seperti awal-awal Revolusi Kebudayaan, yang menciptakan istilah negeri “Tirai Bambu”.

Sangat sedikit, jika ada, negara-negara yang mengatakan mereka tidak terpengaruh China, baik secara politik, ekonomi, atau keduanya.

Indonesia, juga secara realistis dibanjiri produk manufaktur Tiongkok. Investasi China juga menderas dalam beberapa tahun terakhir.

Masuk di sektor infrastruktur, perbankan, perkebunan, pertambangan. Industri digital juga sulit dijauhkan dari faktor China.

Konstelasi sejauh ini di regional Asia Tenggara, secara bisnis ekonomi belum terpengaruh perang dagang kasar AS dan Cina.

Covid-19 yang sedikit banyak mengubah keadaan. Sisi lain, di Laut China Selatan, politik agak meningkat tensinya lewat unjuk kekuatan militer kedua super power ini.  

Meski demikian, perkembangan signifikan pertempuran ekonomi AS-China memaksa sejumlah perusahaan besar berusaha mencari alternatif di luar China.

Jika semula masih pelan usahanya untuk memindahkan basis manufaktur, situasi terakhir memaksa banyak perusahaan bergerak cepat.

Vietnam, India, Thailand, dan Indonesia termasuk di antara tujuan pengalihan basis perusahaan asal AS maupun Eropa.

Eskalasi konflik China vs AS juga dipicu UU Keamanan yang diterapkan di Hongkong SAR. AS akhirnya mencabut privilese transaksi perdagangan dan perbankan untuk Hongkong.

Serangan bertubi-tubi dilancarkan AS, seperti menghukum beberapa orang China terkait dugaan pelanggaran HAM atas warga Uighur dan kelompok minoritas Muslim lain.

Dua yang terbaru, penutupan Konsulat China di Houston, yang langsung dibalas penutupan Konsulat AS di Chengdu.

Serta, geger aplikasi Tiktok. Trump sudah pernah merasakan getahnya secara langsung saat kampanye terbuka di Tulsa, Oklahoma.  

Ia kena “prank” para Tiktoker kawula muda AS. Pemesanan daring tiket kampanye Trump membeludak, tapi yang datang hanya beberapa ribu saja. Stadion lebih banyak kosong.

Secara garis besar, Federal Reserve AS memperkirakan konflik dagang telah mengakibatkan hilangnya pekerjaan di antara produsen AS pada paruh pertama 2019.

Sementara Federal Reserve Bank of New York mengatakan perang perdagangan menghapus $ 1,7 triliun nilai transaksi yang terdaftar di AS selama dua tahun terakhir.

Konferensi PBB tentang Perdagangan dan Pembangunan mengatakan tarif AS yang lebih tinggi pada barang-barang Cina mengakibatkan penurunan 25 persen ekspor Cina ke AS.

Kerugian puluhan miliar dolar diderita perusahaan-perusahaan China. Kini, raksasa-raksasa bisnis AS yang sudah begitu lama menggantungkan industrinya ke pabrik di China, mulai hengkang.

Sejumlah industri otomotif AS, farmasi, kimia, permesinan, elektronik, IT, gadget seperti Apple Inc, punya ketergantungan cukup dalam terhadap manufaktur di Tiongkok.  

Mata rantainya industri ini panjang dan tidak mudah, menyulitkan usaha reshoring atau memulangkan kembali ke AS, seperti tekad Trump sejak masa kampanye lalu.  

Kerumitan ini memberi kesempatan China, memiliki keunggulan dibanding AS. Mereka sudah memiliki segalanya.  

"Ketegangan perdagangan antara China daratan dan AS tampaknya telah meningkatkan, tidak menurunkan, ketergantungan pasar ketiga pada pasokan dari China daratan," tulis analisis raksasa perbankan global HSBC.

"China daratan terus meningkatkan pangsa pasar globalnya sebagai pemasok komponen elektronik, farmasi, dan otomotif," kata HSBC dalam catatan penelitian Juli yang dikirim ke Al Jazeera.

Pemenang dan pecundang

Tetapi secara lebih luas, penataan kembali ekonomi poros AS-Cina memaksa hampir setiap negara yang berurusan dengan mereka untuk memikirkan kembali apa yang mereka lakukan.

Beberapa negara Asia bisa menjadi penerima manfaat eksesk konfik ini. Frederic Neumann, Wakil Kepala Ekonom HSBC Asia mengatakan, China telah melampaui AS di kawasan Asia.

Ia memberi contoh, Malaysia, Singapura, Vietnam, Jepang, Selandia Baru, dan Korea Selatan dapat melihat peningkatan pendapatan yang signifikan pada 2030 dari keanggotaan mereka dalam dua perjanjian perdagangan bebas regional utama.

China adalah pemain besar di blok itu, sedangkan AS tidak ikut. Bagi raksasa perbankan seperti HSBC dan Standard Chartered yang berbasis di London, mereka ternyata adaptif terhadap perubahan di Hongkong

Nah, sekarang TikTok, aplikasi berbagi video milik perusahaan China yang sangat populer di kalangan remaja di seluruh dunia, muncul di panggung utama perang Washington versus Beijing.

Trump menuduh pemiliknya, ByteDance, mengizinkan pemerintah China bisa mengkses data, mengumpulkan data privat pengguna TikTok di AS.

Tuduhan ini telah ditolak keras ByteDance. Raksasa teknologi AS Microsoft Corp milik Bill Gates, disuruh maju.

Jika TikTok sukses diambilalih, Trump berpikiran bisa memutus akses Beijing ke data sensitif warganya.

Editorial di surat kabar China Daily yang dikontrol Beijing, memprotes AS "menggertak" perusahaan teknologi China.

Sebenarnya tak hanya AS yang risau. India sudah lebih dulu memiliki masalah. India melarang hampir 59 aplikasi seluler China, termasuk TikTok.

Secara kebetulan, situasi itu dipertajam menyusul pecahnya perkelahian massal yang menewaskan puluhan tentara India di perbatasan China-India di Ladakh, Himalaya.

Pertempuran Melawan Huawei

Secara riil, serangan terhadap korporasi Huawei menjadi contoh paling sukses usaha perang bisnis yang dilakukan AS.

Perusahaan China itu dilaporkan memiliki jumlah paten tertinggi terkait peralatan yang menjalankan jaringan ponsel 5G generasi terbaru.

Taruhannya untuk 5G sangat besar. Firma riset IHS Markit memperkirakan pada 2035, teknologi 5G akan membantu menciptakan lebih dari 22 juta pekerjaan di seluruh dunia.

Teknologi inimenghasilkan output ekonomi senilai $ 13,2 triliun setiap tahunnya. Itu kira-kira jumlah yang dihabiskan konsumen AS tahun lalu, atau gabungan pengeluaran konsumen China, Jepang, Jerman, Inggris, dan Prancis pada 2018.

Upaya AS mengganjal Huawei terbukti berhasil. Kampanyenya, menuduh Huawei menggunakan perangkat teknologinya untuk mendapatkan data rahasia di negara lain.

Tuduhan ini juga sudah berkali-kali ditolak Huawei. Pemerintahan Trump pun telah melarang perusahaan telekomunikasi AS berbisnis dengan Huawei.

Trump juga menekan sekutu-sekutunya agar menghindari Huawei, ketika membangun jaringan 5G. Inggris sudah menjalankan instruksi Trump itu, meski sebelumnya ngotot melanjutkan kerjasama dengan Huawei.

Komisi Eropa semula memberi kelonggaran, tapi belakangan meminta anggotanya membuat diversifikasi pemasok 5G mereka, tanpa menyebut nama Huawei.

Nokia Finlandia dan Ericsson Swedia, mungkin akan mengambil peluang besar ini. Singapura, negara tetangga kita, sudah mengumumkan memilih perusahaan Eropa untuk jaringan 5G.

Ironisnya, Nokia dan Ericsson masih bergantung pada China untuk banyak komponen yang digunakan di peralatan jaringan mereka.

Mereka mengoperasikan pabrik yang mempekerjakan ribuan orang di China. Posisi ini memberi kesempatan China melakukan tindakan balasan yang menyulitkan.

Melihat risiko ini, Nokia dan Ericsson bisa saja merelokasi pabrik mereka di China. Tapi perlu biaya sangat signifikan.

Situasi lain, membangun jaringan 5G tanpa Huawei, bisa jauh lebih tinggi biayanya. Jika terlambat membangun jaringan 5G, dampak ekonominya bakal serius.

Peluang besar bisa terbang, akses dan arus informasi dan pengetahuan lintas batas terlambat, dan pasti berefek ke pertumbuhan ekonomi masing-masing negara.

Perdang dagang AS-China ini serius. Tapi ada yang lebih serius, yaitu konflik seputar pandemi global virus corona.

Trump terus menuduh China menutup-nutupi kemunculan virus ini, menghilangkan peluang dan kesempatan dirinya menyelamatkan ribuan nyawa penduduk Amerika.

Trump menarik AS keluar dari WHO, menyalahkannya karena lebih memihak China. Di mata Thomas J Christensen, analis senior Brookings Institute, dan mantan Wamenlu AS urusan Asia Timur dan Pasifik mengritik situasi ini.

"Menudingkan jari dan tuduhan yang didorong secara politis antara dua kekuatan utama dunia, hasilnya adalah bencana, terutama ketika virus menyebar ke negara-negara yang paling miskin di dunia,” tulis Christensen dikutip Azhar Sukri dari Aljazeera.

"China dan AS harus berperilaku seperti kekuatan besar yang percaya diri, tidak seperti pemain yang tidak aman dan tragis dalam drama Yunani kuno," lanjut Christensen.

Perang dagang jauh dari selesai. Bahkan baru dimulai di Laut China Selatan.(Tribunnews.com/Setya Krisna Sumarga)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini