TRIBUNNEWS.COM, WASHINGTON – Jurnalis Palestina dan Direktur Jaringan Media Komunitas di Amman, Yordania, Daoud Kuttab, membuat analisis di portal berita Washingtonpost.com, Kamis (13/8/2020) malam waktu setempat, atau Jumat (14/8/2020) pagi WIB.
Ia menyebut kesepakatan diplomatik Uni Emirat Arab dan Israel, yang diklaim Presiden AS Donald Trump momen sangat bersejarah, sebagai sirkus diplomatik yang menghina.
“Perjanjian yang tidak berguna antara Uni Emirat Arab dan Israel tidak lain adalah taktik untuk secara artifisial meningkatkan pencapaian kebijakan luar negeri pemerintahan Trump menjelang pemilihan,” tulis Daoud Kuttab lewat kolomnya di The Post.
“Secara nyata, itu tidak lain (pekerjaan) para pemimpin yang berdagang dengan barang bekas,” imbuhnya. Meski di bagian lain disambut positif, respon negatif datang dari kalangan Palestina. Iran juga mengecam kesepakatan itu.
Kamis (13/8/2020) siang waktu Washington, Presiden AS Donald Trump mengumumkan AS telah membuat terobosan besar, menengahi hubungan dua negara, UEA dan Israel.
Baca: Dibantu AS, Israel dan Uni Emirat Arab Sepakat Berdamai, Ini Kata Trump
Baca: POPULER Internasional: Israel dan UEA Sepakat Damai | Aturan Tekanan Air AS Direvisi Gara-gara Trump
Baca: Dibantu AS, Israel dan Uni Emirat Arab Sepakat Berdamai, Ini Kata Trump
Menyusul kesepakatan damai itu, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji menunda aneksasi Tepi Barat. Penandatanganan kesepakatan damai akan dilakukan dalam beberapa hari ke depan.
Emirat Arab menjadi negara ketiga di dunia Arab yang membuat perdamaian dan menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Sebelumnya, Mesir dan Yordania sudah lebih dulu melakukan.
“Kehebohan besar ini bukanlah terobosan sejati, dan juga tidak akan membawa perdamaian antara orang Israel dan Arab dalam waktu dekat,” lanjut Kuttab.
Saudi Arabia sebenarnya lebih dulu mengambil inisiatif berdamai dengan Israel, menggunakan syarat yang lebih komprehensif.
Saudi memprakarsasi Inisiatif Perdamaian Arab pada 2002 yang menyerukan normalisasi hubungan sebagai imbalan bagi Israel yang mengakhiri pendudukan tanah Arab hasil perang 1967.
Palestina dan dunia, termasuk AS mempertimbangkan inisiatif itu. Kemudian datangah pemerintahan Donald Trump, yang membawa visi sangat berbeda.
Mereka membuat skema perdamaian sendiri, memberi Israel semua yang mereka inginkan. Bahkan tidak mengajak orang-orang Palestina ke meja perundingan.
Usaha Emirat Membuat Terobosan Politik
Masih menurut Kuttab, kali ini Putra Mahkota UEA Sheikh Mohammed bin Zayed (dikenal sebagai MBZ), berusaha membuat pembeda dari sekutu dekatnya, Saudi Arabia dengan Pangeran Mohammad bin Salman (MBS).
UEA secara realitas terlibat perang di Yaman ndan Libya. Di kedua front itu, UEA menderita kekalahan memalukan. Karena itu menurut Kuttab, ia membutuhkan kemenangan diplomatik.
Tragedi dalam semua ini, Palestina akan benar-benar terhapus dari semua pembicaraan tentang "terobosan" dan "perdamaian".
“Tapi kita tahu perdamaian sejati hanya akan datang dengan komitmen serius untuk mengakhiri pendudukan Israel dan menciptakan negara Palestina yang demokratis dan damai. Sampai saat itu, semua hanya akan menjadi bagian sirkus diplomatik yang menghina,” lanjutnya.
Di sisi lain, berita besar dari Timur Tengah ini merupakan dampak perubahan geopolitik di Timur Tengah. Negara-negara telah terpecah menjadi dua kubu berlawanan yang berpusat di sekitar sikap mereka terhadap Israel.
Iran, Turki dan Qatar sebagai poros "perlawanan"; dan Arab Saudi, UEA, dan pada tingkat yang lebih rendah Mesir di kubu yang proAS-Israel. Meski demikian, ada kerikil tajam yang mengganjal sikap kalangan Demokrat AS.
Mereka mengkritik keras Arab Saudi atas pembunuhan penulis opini Washington Post, Jamal Khashoggi di Istanbul Turki. Begitu juga korban sipil dari perang Saudi-UEA dengan pasukan pro-Iran di Yaman. Kaitan itu, penjualan senjata mematikan AS ke Saudi juga tengah disorot Demokrat.
“Upaya diplomatik UEA secara serius didorong pembunuhan Jamal Khashoggi, yang sekali lagi mendorong UEA untuk membedakan dirinya dari Arab Saudi," kata Jon Alterman, seorang analis di Pusat Kajian Strategis dan Internasional yang secara teratur memimpin perjalanan ke UEA. .
Warga Palestina Terisolasi dan Diabaikan
Rob Satloff, Kepala Institut Washington untuk Kebijakan Timur Dekat, mencatat UEA dibayar mahal ketika pemerintahan Trump tahun lalu mendorong penjualan miliaran perangkat keras militer canggih ke negara itu.
Penjualan itu tentu termasuk sistem senjata yang biasanya akan tunduk pada pembatasan AS, demi mempertahankan "keunggulan militer kualitatif" Israel, sebagai penerima bantuan militer terbesar dari Washington.
Kesepakatan UEA-Israel membuat orang-orang Palestina, yang telah menolak rencana perdamaian pemerintahan Trump karena terlalu bias terhadap Israel, lebih terisolasi. Bahkan ketika mereka berhasil mencegah langkah Israel menuju pencaplokan langsung Tepi Barat.
"Saya yakin orang-orang Palestina akan sangat marah, tetapi saya tidak yakin mereka telah kehilangan banyak hal di sini, secara praktis, dan menghindari aneksasi hanya bisa menjadi hal yang sangat baik bagi mereka," kata Hussein Ibish, cendekiawan senior Arab di Institut Negara Teluk di Washington.
"Di sisi lain, hal itu menunjukkan Israel dapat membuat kemajuan besar dengan negara-negara Arab tanpa menyerahkan apa pun yang telah mereka amankan di wilayah pendudukan, yang merupakan berita bagus bagi Israel. Dan, dalam hal itu, sangat buruk bagi Palestina," lanjutnya.
Tokoh senior Palestina, Hanan Ashrawi, mengkritik perjanjian UEA-Israel, dengan alasan "Israel mendapat imbalan.
Mereka tidak menyatakan secara terbuka apa yang telah dilakukannya terhadap Palestina secara ilegal (dan) secara terus menerus sejak awal pendudukan.(Tribunnews.com/ThePost/TheIndependent/xna)