TRIBUNNEWS.COM - Salah satu pengembang vaksin virus corona terkemuka menghentikan sementara uji coba vaksinnya lantaran beberapa peserta jatuh sakit.
Seperti yang dilansir Mirror, Johnson & Johnson menyebut pihaknya menunda vaksin Covid-19 dikarenakan munculnya penyakit pada relawan vaksin.
Namun, J&J tidak menjelaskan lebih lanjut sakit apa yang dialami peserta vaksin.
Penyakit peserta vaksin kini sedang ditinjau dan dievaluasi oleh data independen dan dewan pemantauan keamanan serta dokter klinis, ungkap Johnson & Johnson dalam sebuah pernyataan.
J&J mengatakan bahwa penundaan seperti itu normal, terlebih lagi dalam percobaan besar, yang melibatkan puluhan ribu orang.
Baca juga: Mengenal 3 Vaksin Corona yang Tersedia di Indonesia Bulan Depan: Cansino, Sinopharm, dan Sinovac
Baca juga: Pemerintah Sebut Vaksin Virus Corona akan Tersedia Bulan Depan, Berikut Kelompok yang Jadi Prioritas
Sementara itu, Dr William Schaffner, seorang profesor penyakit menular di Fakultas Kedokteran Universitas Vanderbilt, mengatakan melalui email bahwa semua orang waspada karena apa yang terjadi dengan AstraZeneca.
Ia menyebut bahwa mungkin diperlukan waktu seminggu untuk mengumpulkan informasi.
"Itu pasti kejadian buruk yang serius. Jika itu seperti kanker prostat, diabetes yang tidak terkontrol atau serangan jantung, mereka tidak akan menghentikannya karena alasan-alasan itu."
"Ini kemungkinan besar merupakan penyakit neurologis," katanya.
Johnson & Johnson bukan satu-satunya pengembang vaksin virus corona yang sempat menghentikan uji klinisnya.
September lalu, AstraZeneca, juga menghentikan uji vaksin karena alasan yang sama.
Dilansir Mirror, AstraZeneca Plc - yang bekerja bersama Universitas Oxford - mengonfirmasi bahwa mereka harus menghentikan sementara pengembangan vaksin untuk melakukan peninjauan data keselamatan.
Tidak diketahui apakah pengembang terdepan vaksin yang membuat keputusan itu atau diperintahkan oleh badan pengatur, lapor Stat News.
Sifat dari reaksi merugikan atau kapan reaksi itu terjadi pun tidak dibeberkan.
Meski begitu, sukarelawan dilaporkan segera pulih.
Juru bicara AstraZeneca menyebut penangguhan itu sebagai "tindakan rutin" yang harus dilakukan setiap kali ada potensi penyakit yang tidak dapat dijelaskan.
Baca: Jokowi Bentuk Tim Percepatan Pengembangan Vaksin Covid-19, Tugasnya Sinergikan Lembaga Penelitian
Baca: Alex Noerdin Pertanyakan Efektifitas Vaksin Sinovac Terhadap Mutasi Virus Baru
Mereka mengatakan, sangat penting untuk menjaga integritas uji coba.
AstraZeneca pun bekerja untuk mempercepat peninjauan peristiwa tunggal untuk meminimalkan dampak potensial pada proses uji coba.
Stat News melaporkan, para peneliti diberitahu bahwa penangguhan itu dianggap "kewaspadaan yang berlebihan."
Sementara yang lain mengatakan hal itu juga berdampak pada uji coba vaksin lain yang dilakukan oleh perusahaan dan produsen lain.
Tetap Menjaga Integritas Proses Ilmiah Sembari Berlomba Membuat Vaksin
Sementara itu, sembilan pengembang vaksin AS dan Eropa terkemuka berjanji untuk menegakkan standar ilmiah imunisasi eksperimental mereka selama perlombaan untuk menangani Covid-19.
Perusahaan tersebut, termasuk Pfizer, GlaxoSmithKline serta AstraZeneca, mengeluarkan janji itu setelah muncul kekhawatiran bahwa standar keamanan dan kemanjuran mungkin "luput" saat para pengembang berlomba-lomba menemukan vaksin.
Perusahaan mengatakan dalam sebuah pernyataan, mereka akan "menjunjung tinggi integritas proses ilmiah saat mereka bekerja menuju potensi pengajuan peraturan global dan persetujuan vaksin Covid-19 pertama".
Penandatangan lainnya adalah Johnson & Johnson, Merck & Co, Moderna, Novavax, Sanofi dan BioNTech.
Janji untuk bermain dengan aturan yang ditetapkan menggarisbawahi debat yang sangat politis tentang tindakan apa yang diperlukan untuk mengendalikan Covid-19 dengan cepat dan untuk memulai bisnis dan perdagangan global.
AstraZeneca berada dalam tahap uji coba vaksin Covid-19 Fase 3 pertama dari sembilan developer terdepan yang diketahui telah ditunda.
Uji coba tahap akhir baru dimulai di AS pada akhir Agustus, dengan 62 titik lokasi, sementara yang lain dimulai di Inggris, Brasil, dan Afrika Selatan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)