TRIBUNNEWS.COM - Amerika Serikat secara resmi menarik dari dari Open Skies Treaty (Perjanjian Open Skies) pada Minggu (22/11/2020).
Open Skies merupakan perjanjian yang disepakati oleh 34 negara.
Ke-34 negara pihak dalam Perjanjian Open Skies adalah Belarusia, Belgia, Bosnia, Herzegovina, Bulgaria, Kanada, Kroasia, Republik Ceko, Denmark (termasuk Greenland).
Juga Estonia, Finlandia, Prancis, Georgia, Jerman, Yunani, Hongaria, Islandia, Italia, Latvia, Lithuania, Luksemburg, Belanda, Norwegia, dan Polandia.
Termasuk Portugal, Rumania, Federasi Rusia, Slovakia, Slovenia, Spanyol, Swedia, Turki, Ukraina, dan Inggris Raya.
Kyrgyzstan juga menandatangani perjanjian itu, tetapi belum meratifikasinya.
Negara yang tergabung dalam perjanjian ini dizinkan untuk terbang tanpa senjata untuk melakukan observasi.
Baca juga: Jelang Thanksgiving, CDC Imbau Warga AS Tak Pergi Liburan di Tengah Lonjakan Kasus Infeksi Covid-19
Baca juga: Presiden Terpilih AS Joe Biden segera Umumkan Kabinetnya
Lebih lanjut, pada Minggu (20/11/2020), juru bicara Departemen Luar Negeri AS mengatakan, enam bulan telah berlalu sejak AS memberi tahu, mereka menarik diri.
"Pada Minggu, Amerika Serikat bukan lagi Negara Pihak pada Perjanjian Open Skies," kata pernyataan itu, yang Tribunnews kutip dari Al Jazeera.
Menteri Luar Negeri Mike Pompeo di Twitter, mengatakan "Amerika lebih aman" karena penarikan Open Skies.
Pompeo lalu menambahkan "Rusia tetap tidak mematuhi kewajibannya".
Rusia telah dituduh berulang kali melanggar perjanjian Open Skies, dengan memblokir penerbangan pengintai di sekitar daerah tertentu.
Ttermasuk daerah kantong Rusia Kaliningrad dan perbatasan dengan Georgia, serta menolak penerbangan latihan militer Rusia.
Baca juga: Rusia akan Luncurkan Uji Coba Rubel Digital di Krimea
Open Skies Memungkinkan Penerbangan Observasi Tanpa Senjata
Perjanjian pengendalian senjata ini dinegosiasikan pada 1992.
Open Skies memungkinkan negara-negara yang berpartisipasi, termasuk AS dan Rusia, untuk melakukan penerbangan observasi tanpa senjata di atas wilayah satu sama lain.
Setiap negara memiliki kuota tahunan untuk berapa banyak penerbangan yang harus diterima dan berapa banyak yang dapat dilakukan.
Para kritikus menilai, penarikan itu merupakan pukulan besar bagi sekutu AS.
Moskow telah menunjukkan dirinya lebih tertarik pada pengawasan udara negara-negara Eropa daripada pengawasan AS.
Awal bulan ini, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menuntut jaminan tertulis dari anggota NATO yang tersisa, data apa pun yang mereka kumpulkan mulai saat ini tidak akan dibagikan dengan AS.
Dia juga mengatakan pangkalan AS di Eropa tidak akan dibebaskan dari misi pengawasan Rusia.
Baca juga: Vladimir Putin Ungkap Belum Siap Akui Joe Biden sebagai Presiden AS
Baca juga: Siap Kerjasama dengan Siapapun Presiden AS, Tapi Putin Belum Ucapkan Selamat ke Joe Biden
'Satu pukulan lagi' untuk pengendalian senjata
Menulis di Twitter, Steven Pifer, rekan non-residen di Brookings Institution's Arms Control and Non-Proliferation Initiative, menyebut penarikan itu "satu pukulan lagi" oleh administrasi Presiden AS Donald Trump.
Khususnya, untuk upaya pengendalian senjata dan meminta Presiden terpilih Joe Biden untuk bergabung kembali dengan perjanjian itu.
Dalam sebuah artikel, Pifer mencatat, meskipun satelit pengintai AS lebih unggul dari pesawat yang diizinkan dalam perjanjian Open Skies, perjanjian tersebut memiliki "beberapa keuntungan".
Termasuk memberi "sekutu dan mitra AS yang kekurangan satelit pencitraan canggih kesempatan untuk mengumpulkan data yang membangun kepercayaan."
Dia menambahkan, pesawat memiliki "fleksibilitas lebih besar" daripada satelit dan penerbangan yang dapat digunakan sebagai pernyataan politik.
Baca juga: Hakim Tolak Tiga Gugatan Kubu Trump untuk Hentikan Jalan Joe Biden Menuju Presiden AS
Ini Kata Biden saat Trump Berencana Keluar dari Open Skies
Pada Mei, Biden mencemooh keputusan Trump untuk menarik diri dari perjanjian tersebut.
Saat itu, Biden mengatakan, terlepas dari pelanggaran Rusia, AS dan sekutunya "mendapat manfaat" dari perjanjian tersebut.
"Sekutu kami telah menjelaskan bahwa mereka ingin kami tetap berada dalam Perjanjian, dan untuk bekerja sama untuk mengatasi masalah kepatuhan dengan Rusia," tulisnya dalam sebuah pernyataan pada Mei.
"Tanpa kita, perjanjian itu bisa runtuh. Penarikan diri akan memperburuk ketegangan yang tumbuh antara Barat dan Rusia, dan meningkatkan risiko salah perhitungan dan konflik."
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)